Pernyataan Sikap Akhir Tahun 2017
FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA
Sistem kapitalisme sebagai sebuah logika hukum bagi penerapan hukum besi pasar bebas telah melegalisasi individu atau golongan tertentu untuk melakukan akumulasi keuntungan yang sebesar-besarnya, dan menghalalkan kompetisi tanpa batas bagi semua manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Akibatnya akan terjadi konsentrasi kekayaan dan monopoli kekuasaan bagi segolongan minoritas, dan di sisi lain berjuta-juta manusia yang kalah dalam kompetisi akan terjerumus dalam jurang kemiskinan.
Akhir tahun 2017 ini sebagaimana kita ketahui secara bersama bahwa Pemerintah kembali menunjukkan keberpihakannya kepada pemodal/pengusaha. Hal itu ditandai dengan kebijakan penetapan Upah 2018 yang masih jauh dari hidup layak kaum buruh. Penetapan UMP/UMK 2018 di seluruh Negeri ini hampir semua masih mengacu pada ketentuan PP Nomor 78 Tahun 2015 yaitu menetapkan kenaikan upah hanya sebesar 8,71% dimana kenaikan upah harus mengacu pada Pertumbuhan Inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB), bukan melihat pada Komponen Hidup Layak (KHL) kaum buruh.
Selain persoalan tersebut, sistem kerja kontrak dan outsourcing juga masih menjadi persoalan yang akan menjadikan buruh semakin sulit mendapatkan kerja yang layak. Kemudian pemerintah juga membuat kebijakan Upah Padat Karya dengan dalih untuk menjaga iklim investasi agar tetap kondusif, namun hal tersebut bisa kita pastikan akan semakin menambah penderitaan kaum buruh terkhusus di sektor garmen karena pengusaha bisa memberikan Upah kepada buruhnya dibawah UMP/UMK. Kebijakan Upah Padat Karya ini ditetapkan melalui SK Gubernur Jawa Barat yang mengharuskan perusahaan garmen di 4 Kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok akan melakukan penyesuaian Upah.
Perlu diketahui bahwa di 4 Kabupaten tersebut terdapat 98 perusahaan garmen dengan tenaga kerja mencapai 967.569 buruh. Dan bukan tidak mungkin bahwa kedepannya kebijakan tersebut juga akan diberlakukan kepada buruh sektor garmen atau sektor lainnya di seluruh nusantara jika pemerintah masih terus berpihak pada kaum modal.
Upah padat karya ternyata menjadi inspirasi bagi pemerintah bersama pemodal untuk terus melakukan inovasi penerapan politik upah murah, seperti kasus mengenai upah minimum pedesaan, inspirasi untuk lahir upah minimum tingkat kecamatan dan bentuk lainnya. Kesemuanya itu apapun istilahnya, selama upah diberikan berdasarkan batasan minimum terendah apalagi di bawah ketentuan minimum, tanpa berdasarkan pada kelayakan hidup buruh bersama keluarganya secara kemanusiaan maka politik upah murah akan terus berkuasa di negeri tercinta ini.
Sehingga penting bagi kita untuk terus mengkampanyekan penolakan politik upah murah, dan menyerukan bahwa pemerintah harus segera menerapkan kebijakan Upah Layak Nasional (ULN) menuju Upah Relative Nasional (URN), karena Buruh di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh politik perburuhan yang tunduk terhadap hukum pasar, hukum yang mengharuskan setiap buruh tunduk pada kehendak modal, jika tidak maka PHK akan dialami oleh kaum buruh.
Selain daripada itu, kaum buruh indoensia dihadapkan dengan persoalan PHK, hal tersebut juga menjadi persoalan lain selain persoalan upah yang mencerminkan tidak adanya perlindungan dari pemerintah terhadap buruh dalam bekerja, sehingga PHK akan terus menghantui buruh dalam dunia kerjanya.
Sepanjang tahun 2017 berbagai Serikat Buruh/Pekerja yang ada di Indonesia masih mencatat adanya tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dialami oleh anggota-anggotanya. Menurut Advokasi FPBI sendiri mencatat ada 624 orang mengalami kehilangan pekerjaan karena di PHK sejak semester II 2016-2017.
Berbagai alasan dari pengusaha dalam melakukan PHK terhadap pekerjanya, mulai dari alasan efisiensi, alasan melanggar aturan perusahaan, alasan habis kontrak, dan juga alasan relokasi ataupun penutupan perusahaan serta masih banyak lagi. Apapun alasannya, PHK tetaplah PHK, yang akan kembali menjadikan buruh masuk dalam jurang kemiskinan, karena sejatinya PHK merupakan ‘kejahatan kemanusiaan’ yang terjadi di Negara kita ini.
Seharusnya persoalan PHK menjadi perhatian khusus bagi pemerintah karena tindakan PHK akan memperbanyak angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang mengatur akan perlindungan buruh. Akan tetapi lagi-lagi pemerintah tidak menunjukkan itikad baik dalam menjamin keberlangsungan hidup buruh. Kemudian sering juga kita dengar dari ucapan pemerintah bahwa harus ada situasi harmonisasi dalam perusahaan yang terjadi antara pengusaha dan buruhnya.
Namun harmonisasi selalu di kebiri sendiri oleh pengusaha karena selalu melakukan berbagai tindakan Pemutusan Hubungan Kerja. Buruh yang sudah berserikat maupun yang belum berserikat sesungguhnya menginginkan tetap bekerja untuk mempertahankan hidup dirinya dan keluarganya secara layak, serta bermartabat menurut nilai-nilai kemanusiaan secara terus menerus.
Ada beberapa hal yang menjadi dampak atas adanya tindakan PHK ini. Pertama; Pemutusan Hubungan kerja berarti tindakan penghilangan hak atas penghasilan dan pekerjaan yang layak. Kedua; Pemutusan hubungan kerja menghilangkan daya beli (akibat dari tidak adanya penghasilan) yang pada akhirnya akan mempengaruhi siklus ekonomi masyarakat sekitar dan ekonomi nasional secara makro. Ketiga; PHK akan memperlemah kekuatan alat perjuangan kaum buruh. Hal-hal ini lah yang menjadi dasar bahwa kita akan terus menerus menolak PHK, dan menyimpulkan bahwa PHK adalah bagian dari kejahatan kemanusiaan. Pemutusan Hubungan Kerja yang bisa dibilang tiap tahun terjadi merupakan kenyataan obyektif, serta hal yang nyata yang mau tidak mau dan suka tidak suka harus dihadapi dengan segala daya upaya yang kita miliki menurut situasi-situasi yang terus berkembang.
Jelang pergantian tahun 2017 menuju tahun 2018 ini harus menjadi momentum bagi kita semua untuk terus meningkatkan gelora perlawanan dalam menuntut kesejahteraan bagi kaum buruh dan seluruh rakyat. Dengan demikian, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI-KPBI) menyerukan kepada seluruh buruh di Indonesia untuk terus menyatukan kekuatan dalam melawan tirani penindasan yang terjadi saat ini. Serta menyatakan sikap bahwa Negara harus bertanggung jawab atas upah layak dan kerja layak bagi seluruh kaum buruh Indonesia.
- Tolak Politik Upah Murah dan Berlakukan Upah Layak Nasional
- Hapuskan Sistem kerja Kontrak dan Outsourcing
- Cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan
- Tolak PHK Terhadap Kaum Buruh
- Terapkan UU Perlindungan Buruh
Jakarta, 28 Desember 2017
Pimpinan Pusat FPBI
ttd
Herman Abdulrohman (Ketua Umum)
Ijin share. Boleh kah?
maaf bang baru confirm. baru buka notification terkait komentar. sekali lagi maaf bung.