26 April 2017
Beberapa bulan di Indonesia timur barulah memahami kenapa bangsa ini sangat cocok dengan sebutan Negara maritim dikarenakan Negara Indonesia wilayah terbesarnya (64,97 % dari luas wilayah Indonesia) adalah laut (3.544.743,9 km2) yang mengitari pulau-pulau yang kecil maupun yang besar. Karena laut dan gugusan pulau yang termasuk wilayah Indonesia menjadikan surga bagi ikan besar dan kecil untuk berkembang biak dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu Negara penghasil perikanan laut dunia dan dapat menjadikan perikanan sebagai produksi unggulan yang dapat memberi pemasukan besar bagi Negara. Dimana konsumsi ikan untuk nasional saja mencapai 41,1 kg/kapita/tahunnya pada periode tahun 2015. Dan juga meningkatnya kebutuhan konsumsi ikan di dunia sekitar 19,6 kg/kapita/tahunnya sampai dengan 2020 yang ditargetkan FAO badan pengontrolan gizi makanan PBB.
Tapi pada kenyataannya Indonesia hanyak menempatkan diri sebagai penghasil terbesar kedua produksi perikanan tangkap dengan 6 juta ton pada tahun 2014 dibawah Negara China dengan hasil 14,8 juta ton pertahunnya. Sangatlah aneh dimana Negara China besaran wilayah lautnya (kurang lebih 1juta km2) tidak lah lebih besar dari Indonesia namun bisa menepatkan China sebagai produsen ikan tangkap terbesar di dunia. Dan yang lebih parah lagi dengan banyak terjadinya kasus-kasus pencurian ikan di laut wilayah Indonesia, kalau menurut data statistic dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 hampir kurang lebih 900 kasus pencurian ikan di laut Indonesia dan merugikan Negara sebesar Rp. 240 triliun per tahunnya atau dirata-ratakan perkapal pencuri ikan merugikan Negara sebesar 1,402 milyar. Negara–Negara yang sering melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia adalah Vietnam, China, Taiwan, dan Thailand. Ada beberapa cara/modus operasi yang sering dilakukan para pencuri ikan yang berada di wilayah Indonesia diantaranya adalah masuknya kapal asing yang tidak punya izin penangkapan ikan dan ada juga dengan transshipment cara pemidahan muatan hasil tangkapan dari kapal kecil ke kapal yang lebih besar dan dilengkapi dengan coldstorage/ruangan pendingin di wilayah ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusive Internasional).
Pada tahun 2015 negara melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi Pudjiastuti mengeluarkan regulasi yang mana diharapkan dapat membendung pencurian ikan di laut wilayah Indonesia. Peraturan menteri kelautan dan perikanan yaitu nomor: 10/PERMEN-KP/2015 tentang penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolahan perikanan Negara Republik Indonesia telah memperpanjang jangka waktu pelarangan melaut bagi kapal ikan eks impor berkapasitas lebih dari 30 GT. Dimana aturan ini ditunjukan untuk mengurangi terjadinya pencurian ikan di wilayah kekuasaan Indonesia yang dilakukan oleh Nelayan–nelayan asing. Dan juga dengan ini Negara menjamin keberlangsungan nelayan-nelayan Indonesia terutama nelayan tradisional untuk mendapatkan tangkapan yang lebih baik. Menteri Ibu Susi pun sangat tegas terhadap kapal-kapal asing dan yang tidak punya izin penangkapan ikan yang masih berani beroperasi di wilayah Indonesia maka tidak jarang kapal-kapal itu dihukum dengan cara di hancurkan/diledakan. Sikap tegas Ibu Susi sangatlah berimbas dengan berkurangnya penangkapan ikan illegal, tetapi ada satu efek samping dari moratorium kelautan yang dimana membuat jadi lesunya Industry pengolahan ikan laut dikarenakan kurangnya pasokan bahan baku ikan.
Di Bitung dan Morotai yang notabenenya adalah salah satu wilayah yang ditunjuk sebagai wilayah yang ditetapkan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) sebagai perikanan laut sebagai produksi unggulannya. MP3EI yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2011 dengan dikeluarkannya Perpres RI Nomor 32 Tahun 2011 yang menjadi landasan berjalannya. Dan jauh sebelum ditetapkan Bitung sebagai salah satu wilayah program MP3EI, Bitung pada tahun 2009 sudah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang akan melayani “transaksi ekonomi” menuju ke laut cina selatan dan ke samudera pacific. Sudah banyak infrastruktur yang telah dibangun antara lain adalah pelabuhan terpadu (pelabuhan penumpang dan pelabuhan petikemas) yang siap melayani eksport ke China, Taiwan, Korea, Jepang, Amerika dan lain-lainnya. Dan pasti industry perikanan sebagai unggulannya, dan akan dibangun Tol Bitung – Manado sebagai penunjang pergerakan distribusi modal kewilayah wilayah di Sulawesi.
Tetapi sangatlah miris bagi buruh yang notabenenya salah satu kekuatan yang cukup signifikan untuk meningkatkan pembangunan di Kota Bitung tidak pernah diperhatikan. Banyak buruh harus menelan pil pahit dengan gaji tidak sesuai dan banyak buruh harus berpikir dan memutar otaknya agar dapat menghidupkan keluarga mereka dengan berdagang dan ada yang harus menjaga kapal-kapal yang sedang bersandar di pelabuhan pada malam hari setelah pulang kerja. Ditambah lagi dengan kondisi lesunya industry perikanan hampir sekitar kurang lebih 60 perusahaan yang didalamnya terdapat sekitar 10.800 buruh dan 3.200 anak buah kapal (ABK) yang dirumahkan. Di karenakan perusahaan atau industry perikanan di Kota Bitung tidak dapat pasokan bahan baku dan sekitar 1.020 kapal yang tidak dapat berlayar dikarenakan izin tidak dapat diperpanjang. Buruh dan ABK kapal dimana pada saat perusahaan-perusahaan itu sedang jayanya sekitar 2013 kebawah, mereka tidak pernah mendapatkan reward/penghargaan telah membuat perusahaan/pengusaha di Kota Bitung menjadi kaya raya. Tetapi kenapa pada saat perusahaan/pengusaha sedang mengalami kesusahan, buruh yang menjadi tumpuhan untuk mengindari kerugihan dengan semena-mena buruh di rumahkan tanpa diberikan haknya dengan sesuai, kadang malah ada perusahaan yang memberhentikan buruhnya dengan semena-mena, dan yang parah lagi buruh ditinggal pergi pengusaha tanpa diberikan haknya mereka bekerja di perusahaan selama bertahun tahun. Dan menurut data kasus-kasus perburuhan yang masuk ke dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Manado di tahun 2017 baru tercatat 2 kasus. Dengan data tersebut bisa kita simpulkan dengan maraknya kasus buruh dirumahkan dan PHK massal akibat perusahaan perikanan yang menjadi produksi unggulan maka pemahaman buruh tentang hak dan pemahaman hukum perburuhan di Sulawesi Utara terutama di Kota Bitung sangatlah minim dan masih sangat tinggi buruh yang pasrah menghadapi kasus-kasus perburuhan dan hanya selesai di meja perundingan yang dipastikan buruh selalu dirugikan.
Sebagai contoh, PT. BMU (Bitung Mina Utama) yang merupakan salah satu perusahaan perikanan yang menjadikan ikan tuna sebagai komoditi unggulanya, yang telah berdiri sejak 2001 merupakan anak perusahaan besar dari Taiwan dan satu group dengan PT. BMU (Bali Mina Utama) di Bali. Perusahan ini adalah pengeksport daging ikan tuna/sasimi ke beberapa Negara antara lain adalah Amerika, Jepang, Taiwan, dan Kanada. Sudah hampir 50% lebih buruhnya dirumahkan dengan alasan seperti diatas yaitu tidak ada pasokan bahan baku ikan tuna dan mengancam menutup pabrik jika moratorium perikanan tidak dicabut. Yang lucunya lagi bahwa perusahaan ini tidak mau dan tidak pernah akan memasok bahan baku ikan tuna dari nelayan Indonesia atau perusahan kapal lain selain kapal-kapal Taiwan yang sampai hari ini sudah banyak tidak beroperasi lagi di karenakan izin penangkapan ikannya dicabut sekitar tahun 2014.
Disini lah pokok permasalahan apakah benar pasokan bahan baku ikan tidak ada lagi akibat moratorium kelautan kementrian kelauatan dan perikanan?? Bisa kita liat dari contoh PT. BMU tadi bahwa pasok ikan tidak ada bukan semata-mata dikarenakan moratorium saja tetapi emang tidak mau mengambil/membeli bahan baku dari nelayan atau perusahaan penangkap ikan lainnya yang notabenenya ini masih ada dan cukup banyak hasil ikannya. Dan membiarkan perusahaan dalam kondisi yang tidak stabil untuk menjadikan bargaining terhadap pemerintah Indonesia untuk mencabut moratorium kelautan agar kapal-kapal Taiwan yang tadinya dilarang beroperasi diberikan izin menangkap ikan kembali di laut Indonesia. Analisa nakalnya jangan-jangan perusahaan-perusahan itu dibuat hanya sebagai cover/kedok untuk melegalkan penangkapan ikan bagi kapal kapal asing yang sebagian kecil di pasok ke perusahaan-perusahaan itu dan sebagian besarnya di bawa ke Negara-Negara kapal-kapal asing itu dengan modus transshipment. Kesimpulannya adalah moratorium harus tetap dijalankan dan memperketat penjagaan perairan Indonesia dari pencurian ikan.
Dan buruh yang dirugikan dikarenakan pentupan perusahaan/PHK massal harus mulai mengorganisasikan dirinya kedalam serikat buruh yang progresif dan meningkatkan pemahaman dan kemampuannya untuk melawan perusahaan/pengusaha yang semena-mena. Dan dari hari ini sampai seterusnya buruh harus mulai berani menanamkan pemahaman bahwa mereka mampu menjalankan perusahaan walaupun di tinggal pengusahanya dan harus membangun jaringan-jaringan nelayan. Sebab perjuangan buruh harus mulai ditingkatkan pada kesadaran tentang merebut perusahaan yang semena-mena menutup dan mem-PHK massal buruhnya. Dan Negara melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan harus membantu untuk mendistribusikan hasil produksi perusahaan yang sudah di rebut buruh melalui control serikat buruh.
Dengan momentum May Day 2017 yang notebenenya adalah hari kemenangan buruh seluruh dunia inilah buruh Sulawesi Utara dan khususnya Kota Bitung mulai sadar dan bangkit melawan perusahaan/pengusaha nakal. Dan tugas serikat buruh yang progresif untuk merangkul dengan mengorganisasikan buruh kedalam serikat buruh progresif dan mendidik buruh tentang pemahaman hukum perburuhan dan perjuangan buruh sebenarnya. Dan satu tugas yang tidak kalah pentingnya adalah membangun komunikasi/berjaringan serikat-serikat sector lain untuk memberikan satu kekuatan yang menunjang perjuangan buruh pada khususnya dan perjuangan rakyat Indonesia pada umumnya.
**Penulis Singkat : Tomy Peden (Staf DPO PP-FPBI)