
Diskusi Webinar bertajuk “Polemik Jaminan Hari Tua Buruh VS Rezim” yang diakomodir Kesatuan Perjuangan Rakyat berlangsung dinamis. Agenda webinar tersebut menghadirkan beberapa tokoh Gerakan Buruh, seperti Nining Elitos (Ketua Umum Konfederasi KASBI), Hermawan (Ketua Umum Konfederasi Serikat Nasional) dan Ramadhan Rizki (Dept. Pendidikan Kesatuan Perjuangan Rakyat) sebagai pemantik diskusinya. Beberapa point dalam pendiskusian tersebut membahas tentang Latar belakang munculnya Permenaker No. 2 Tahun 2022 sampai Tata Kelola Keuangan BPJS sebagai badan yang mengelola Jaminan Sosial, Program Jaminan Sosial yang seharusnya dilaksanakan oleh Negara.
Polemik dari UU SJSN sampai Permenaker No. 2 Tahun 2022
Ketua Umum KASBI mengatakan bahwa sejak adanya UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN sebenarnya sudah menuai banyak polemik dari masyarakat, banyak masyarakat yang keberatan dengan adanya UU tersebut. Sehingga terbitlah Permenaker No. 19 Tahun 2015 sebagai bentuk Diskresi atas UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN.
“Polemik UU SJSN ini dipicu oleh pasal 37, ada ayat yang intinya seseorang bisa menerima manfaat Jaminan Hari Tua setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun. Pasal inilah yang membuat banyak masyarakat menyatakan keberatan atas UU SJSN” Tambah Nining.
“Kemudian ditahun 2015, Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Permenaker No. 19 Tahun 2015, ini tidak lagi menunggu batas minimal kepesertaannya mencapai 10 tahun. Tapi dipermudah pembayarannya hanya menunggu waktu 1 bulan sejak terbitnya surat PHK dari perusahaan maupun Surat Pengunduran diri.”
Disahkannya Omnibus law UU Cipta Kerja menjadi sumber malapetaka atas munculnya Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Tata cara pembayaran Jaminan Hari Tua. Tidak lama setelah disahkannya Omnibuslaw UU Cipta Kerja, kemudian terbit PP No. 37 tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Melalui program JKP seakan-akan pemerintah memberikan kebaikan kepada rakyat. Tapi sebenarnya Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini mengarahkan agar Omnibus lawan UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan Inkonstitusional, untuk segera dijalankan. Analoginya, Negara menciptakan penyakit ke rakyat nya berupa Omnibuslaw UU Cipta Kerja, kemudian menyiapkan obat penenang sementaranya berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Sehingga dengan adanya JKP, kemudian Negara mendapatkan alasan logis untuk mengembalikan program JHT sesuai dengan keinginan Negara, dengan menerbitkan aturan Permenaker No. 2 Tahun 2022.
BPJS adalah Badan Perampok Uang Rakyat
Hermawan, Ketua Umum Konfederasi Serikat Nasional. Dalam diskusi ini beliau mengkaji soal Problematika Tata Kelola JHT di BPJS. Percikan JHT merupakan problem kecil dari kacaunya tata kelola JHT. Beliau mengatakan bahwa di tahun 2020, Peserta BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) 50,697 Juta Orang dengan kepesertaan JHT 36 Jt orang. Uang yang berhasil dikumpulkan di BPJS TK dari pekerja sejumlah 483 T dan 2022 ini bisa mencapai 500 T lebih. Pengelolaan dipakai 340 T yang diambil dari Program JHT dialokasikan ke beberapa investasi, yakni obligasi Negara 64%, Penanaman investasi Saham 14% dan Reksadana dan lain-lain sisanya.
Beliau juga mengungkap bahwa Cost Lostnya tinggi. Kemudian anggaran operasional BPJS TK lebih besar dibandingkan pemasukan yang diperoleh Badan tersebut seperti dipakai direksi untuk fasilitas golf dan Lainnya. Selain itu indikasi BPJS dipakai untuk kepentingan politik juga menyeruak. Pekerja dan buruh telah banyak menyumbang pembangunan negara dengan JHT, semakin miris 56 T dipakai sebagai dalih rekomposisi pelaksanaan JKP. JKP juga menghasilkan Peserta BPJS sebenarnya adalah Pemilik Jaminan Sosial. Sebagai pemilik hanya diberi imbal 5,3 % yang bisa digunakan setelah 10 tahun dan mencapai usia 56 Tahun dalam Permenaker tentang Jaminan Hari Tua. Hasil sisa itu tidak akan memberi manfaat dengan nilai inflasi dan faktor lainnya. Tingginya nilai obligasi dari Bank BUMN apakah Uang ini dipakai untuk pendanaan proyek yang sangat jauh dari manfaat bagi buruh seperti investasi di PT. Garuda dan pembangunan jalan Tol. Buruh tidak memiliki kekuasaan untuk mengontrol seperti Dewan Pengawas (Dewas) tidak ada hak yang kuat untuk mengontrol.Dalam hal kontrol keuangan di Badan tersebut, Satuan Pengawas Internal BPJS tidak pernah dilibatkan dalam membahas perencanaan Operasional 2018-2020. Sempat mengalami kerugian sebesar 20 T. Artinya ada hampir 21% BPJS mengalami kerugian di investasi.
Hermawan menguatkan, semestinya pekerja juga harus merubah maindset bahwa pekerja bukan hanya sebagai peserta BPJS, melainkan sebagai pemilik. Sehingga pekerja mestinya menekan BPJS untuk mentransparansikan pengelolaan keuangannya kepada seluruh pekerja. Ya karena uang yang ada di BPJS itu uang pekerja.
Ramadhan Rizki menguatkan, iuran BPJS dari pekerja 2%, pemberi kerja / pengusaha 3,7%. Sebenarnya uang yang didapatkan pengusaha itukan dari hasil keringat buruhnya. Ini sama saja pekerja yang membayar. Jika dikritisi JHT ini upaya pencurian nilai lebih oleh pengusaha atau pemberi kerja.
Beliau menambahkan, BPJS ini satu badan namun di dalamnya ada banyak kepentingan, ada kepentingan pemerintah, elit politik partai, pengusaha, juga ada dari Serikat Pekerja yang bermain proposal.
Peserta Diskusi Sony Mardiyanto mengungkap Pelaksanaan JHT tidak lepas dari kesalahan direksi BPJS, dimulai dari penetapan direksi berlatar belakang Wakil Direktur Utama BNI memiliki kecacatan di fit & proper test. Pemanfaatan JHT oleh BPJS yang berinvestasi di Obligasi, Pasar Saham dan Reksadana pasti untung, dan butuh menopang pembangunan negara tetapi buruh menderita karena kebijakan negara. Pemanfaatan uang JHT tahun 2019-2021 direksi berbagi sembako dan sumbangan ke legislator sebanyak 50 orang dari komisi IX untuk dana sosialisasi dan ini tidak tepat sasaran karena konstituen di komisi ini bukan peserta BPJS TK. Mirisnya dalam pendaftaran terdapat Double Payment, terjadi sekitar 4 September setelah peluncuran JMO dengan saldo dibawah 10 Juta Rupiah maka akan di pisah menjadi 2 akun. Ratusan Miliar Uang masuk ke orang yang tidak berhak. Rasio Kecukupan Dana bukan kesalahan peserta, tetapi kesalahan direksi dan tidak ada yang mengkoreksi. Ini berpotensi menghilangkan uang buruh. JKP juga program bermasalah direksi pada pasal 52 UU BPJS dilarang melakukan silang program tetapi ditabrak dengan melalui rekomposisi JKP yang menyedot uang dari JKK dan JKN formil ini sudah salah. Karena pendanaan Jaminan itu bukan dari uang pemerintah dan pengusaha tetapi paling banyak adalah uang buruh.
Lalu bagaimana yang mestinya dilakukan Gerakan Buruh?
Rizki berpendapat dari Polemik JHT ini mestinya Gerakan Buruh dapat merumuskan perjuangan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjangnya. Perjuangan jangka pendeknya, JHT dikembalikan ke mekanisme sebelum adanya Permenaker No. 2 Tahun 2022 dan dipermudah pencairannya. Perjuangan jangka menengahnya, menuntut BPJS melakukan transparansi anggaran. Kemudian perjuangan jangka panjangnya, Gerakan Buruh juga Gerakan Rakyat harus mempunyai solusi program jaminan sosial yang sebenarnya, JKP, JHT, JP tidak berfungsi selayaknya Jaminan Sosial selama dikelola oleh badan dan pemerintah yang setengah hati memberikan jaminan ke rakyat. Jaminan Kepastian Kerja inilah salah satu jawabannya, Upah Layak, Perumahan Murah Rakyat dan Pajak Progresif bagi pengusaha dan konglomerat.
Sukanti juga menyoroti perubahan regulasi yang berubah-ubah untuk Jaminan Hari Tua, mulai dari PP 46/2015 tentang JHT, PP 60/2015 tentang JHT, Permenaker 19 tahun 2015 tentang JHT hingga permenaker 02 tahun 2022 tentang JHT yang terhubung dengan sisi ekonomi politik. Untuk itu mendesak untuk memastikan jaminan buruh sebagai pemilik Dana BPJS, dan terlibat dalam menejerial dan pengawas yang demokratis.
Kekalahan demi kekalahan harus menjadi refleksi untuk menjemput keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini membuat akhir diskusi para narasumber menyepakati untuk memperkuat konsolidasi baik di masing-masing organisasi atau di koalisi dan aliansi. Terus melakukan pengorganisiran ke rakyat secara umum dan buruh pada khususnya. Hingga mencari ruang propaganda yang lebih luas dan populer seperti media sosial. Selanjutnya juga menyepakati bahwa Permenaker 2 tahun 2022 harus di cabut tanpa syarat dengan terus meningkatkan eskalasi gerakan buruh. Hingga paksaan pemerintah untuk menarik iuran BPJS butuh langkah dan agenda politik buruh yang visioner. Sehingga gerakan buruh dan gerakan lain harus memperkuat konsolidasi untuk masa depan lebih baik kedepan.