Indonesia sebagai salah satu negara yang juga terkena dampaknya hingga Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional. Penetapan ini dilakukan lewat penerbitan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.Keppres itu diteken Jokowi pada Senin (13/4/2020) dan telah diunggah di situs web resmi Setneg.go.id.
Selain dampak secara kesehatan juga virus covid 19 ini berdampak pada banyak aspek karena proses penularan virus tersebut bisa terjadi akibat intensitas pertemuan manusia maka konsekwensinya adalah membatasi pertemuan, perkumpulan guna mengurangi resiko penularan. kali ini kita tidak membahas COVID-19, karena bukan ahlinya melainkan akan membahas tentang salah satu dampak dari virus tersebut adalah melemahnya industri akibat ekspor, impor yang menurun sehingga banyak perusahaan yang mengalami penurunan produksi dampak berikutnya adalah munculnya fenomena pemutusan hubungan kerja tidak main-main.
Berdasarkan pernyataan resmi pemerintah melalui Menteri Tenagakerja menyebutkan terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK akibat terimbas pandemi covid 19 dengan rincian, sektor formal 1.304.777 pekerja dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Sementara yang terkena PHK mencapai 241.431 orang dari 41.236 perusahaan.”Sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau UMKM,” ujar Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dalam siaran pers. (kompas.com,23/4/2020). Kamis (23/4/2020). Dengan dalih fource majuer atau keadaan memaksa.data tersebut di ambil dari konferensi pers bulan april sehingga tentu saat ini lebih banyak lagi buruh baik sektor informal maupun formal mengalami pemutusan hubungan kerja. Kemudian, yang menjadi perhatian dari konferensi pers tersebut, bahwa dalih pemutusan hubungan kerjanya adalah force majeru atau keadaan memaksa.
TENTANG FORCE MAJEURE/KEADAN MEMAKSA
Secara pengertian dari KBBI (KAMUS BESAR BAHASA Indonesia) Force Majeure atau keadaan memaksa (overmacht) adalah keadaan di mana debitur (perusahaan) gagal menjalankan kewajibannya pada pihak kreditur (pekerja) dikarenakan kejadian yang berada di luar kuasa pihak yang bersangkutan, misalnya karena gempa bumi, tanah longsor, epidemik, kerusuhan, perang, dan sebagainya.
Sedangkan Force majeure secara konsep hukum, berasal dari hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum. Dalam sistem common law, force majure ini dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak.
Di Indonesia “force majeur” dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), namun terdapat pasal yang sering digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeur, yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1244 KUH Perdata
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
Jika dilihat dari peraturan tentang Force majeure atau keadaan memaksa, dalam KUH Per sebenarnya merujuk pada sebuah aturan tentang perjanjian, kontrak mengutip dari Prof. Subekti dalam buku Hukum Perjanjian (hal. 55), merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
Secara praktek banyak disengketakan oleh perusahaan, perorangan yang sedang terikat dalam sebuah perjanjian namun kemudian ada keadaan yang menyebabkan perjanjian teraebut tidak bisa dilaksanakan, selain hal itu juga ketentuan terkait fource majuer dalam KUHPer yang masih sangat umum sehingga tidak bisa dengan mudah menyatakan sebuah kejadian secara langsung disebut sebagai keadaan memaksa atau force majeure karena harus melihat peraturan peraturan turunannya, karena setiap perjanjian mempunyai aturan masing masing yang melatarbelakangi nya. Lantas bagaimana pandemi covid 19? apakah sudah bisa dikatakan sebagai focre majuer?
Selama pandemi COVID-19 ini resmi dinyatakan ada di indonesia kemudian beberapa kebijakan terkait pandemi ini dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya; Kepres No. 12 tahun 2020, Keppres No. 11 Tahun 2020, PP No. 21 tahun 2020 dan UU No. 24 Tahun 2007. Produk hukum itu menyimpulkan Covid-19 sebagai bencana non alam berskala nasional (bencana nasional). Bencana di dalam UU No. 24 Tahun 2006 dibagi tiga yaitu bencana alam, bencana nonalam dan bencana sosial.
Setiap bencana mengakibatkan kedaruratan. Kalau timbul gangguan operasional pemasaran, likuiditas, cash flow, produksi berhenti atau dibatasi, dan lain-lain sebagai akibat dari Covid-19, perusahaan berpeluang mengatakan kondisi itu sebagai keadaan memaksa atau force majeure.namun tidak bisa secara langsung atau absolut di terapkan.Tentu kita harus melihat lebih jauh dalam hukum indonesia yang di dalamnya terdapat asas Lex specialis derogat legi generalis dimana asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
TENTANG FORCE MAJEURE/KEADAAN MEMAKSA DALAM RUANG LINGKUP UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
Dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan, diatur dalam uu no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang di dalamnya terdapat pasal yang bisa menyebabkan putusnya hubungan kerja dalam keadaan memaksa yaitu pada pasal 164 dalam uu ketenagakerjaan yang menyatakan:
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat(2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat(4).
Jika di lihat dari pasal 164 ayat 1 dan 2 cukup jelas bahwa pemutusan hubungan kerja dengan dalil pasal tersebut harus disertai dengan bukti kerugian perusahaan selama dua tahun melalui mekanisme audit akuntan public. Lalu, apakah penundaan produksi, distribusi adalah termasuk kategori kerugian berturut selama 2 tahun?. Tidakkah penundaan tersebut bisa dianalogikan dengan piutang yang yang belum dibayarkan alias masih ditangguhkan yang terhitung sebagai pendapatan bukan kerugian atau hutang.
Terkait pasal 164 tentang ketenagakerjaan juga telah mengalami perubahan karena telah dilakukan yudisial review dan mendapatkan Putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. MK Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”, pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
Berdasarkan putusan diatas, maka cukup jelas bahwa perusahaan tidak bisa melakukan pemutusan hubungan kerja secara langsung dengan dalil pasal 164, selama perusahaan tersebut tidak bisa membuktikan kerugian selama 2 tahun berturut turut dan perusahaan tutup secara permanen.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
Pemutusan hubungan kerja atau sering di sebut dengan PHK bukan menjadi hal baru atau asing di kalangan buruh khususnya dan masyarakat pada umumnya, namun bagaimana PHK seperti apa mekanisme phk dan apasaja yang bisa mengakibatkan putus hubungan kerja antara pengusaha dan buruh/pekerja ini yang kemudian perlu dan penting kita ketahui karena setiap PHK harus mempunyai dasar yang jelas,mari sedikit kita kembali melihat bagaimana phk dalam undang undang ketenagakerjaan
pada bab I pasal 1 angka 25 dalam undang undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan “Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha” sedangkan isi dan bagaimana pemutusan hubungan kerja hingga hak hak yang di dapat ketika pekerja di putus hubungan kerjanya kemudian di atur pada BAB XII PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Pasal 150 pasal 150 s/d pasal 172 uu no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menjelaskan beberapa unsur phk dan latar belakang phk yang kemudian nanti dinikuti oleh beberapa turunan peraturan di bawahnya seperti SE,PERMEN,KEPMEN juga ada beberapa pasal yang sudah mengalami perubahan misalnya pasal 158 tentang phk atas kesalahan berat yang sudah di judisial review sehingga merubah isi dalam pasal tersebut.
Jika kita sederhanakan proses pemutusan hubungan kerja itu terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi. Pertama; PHK yang di akibatkan atas dasar kemauan sendiri tanpa ada paksaan dan karena kesepakatan misalnya pekerja mengundurkan diri, pekerja memasuki usia pensiun, pekerja yang habis masa kontraknya untuk pertama kali,pekerja meninggal dunia, dengan kata lain pemutusan hubungan kerja yang memang sudah di sepakati kedua belah pihak atau karena kemauan pekerja/buruh tersebut hal ini bisa saja dilakukan dengan segala hak yang mengikutinya ketika pemutusan hubungan kerja tersebut terjadi.
Kedua; PHK terjadi akibat beberapa hal yang kemudian menyebabkan pemutusan hubungan kerja diantaranya pekerja melakukan pelanggaran peraturan perusahaan atau pkb dengan sudah mendapatkan surat peringatan 3 kali, pekerja melakukan kesalahan berat dengan ketentuan terbaru setelah pasal 158 tentang kesalahan berat di yudisial review, adannya penggabungan atau peralihan perusahaan, adanyya keadaan memaksa (force majuere), perusahaan tutup permanen dan beberapa hal lain yang juga bisa dilakukan pemutusan hubungan kerja dengan segala hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha ketika pemutusan hubungan kerja tersebut terjadi
Adapun pemutusan hubungan kerja juga diatur dalam Pasal 151 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan;
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3)Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Maka berdasarkan ketentuan dan beberapa penjelasan di atas sebenarnya secara peraturan perundang-undangan pemutusan hubungan kerja tidak bisa dilakukan secara mudah, ada banyak factor-faktor yang kemudian bisa dijadikan untuk melakukan phk, dan syarat PHK adalah ADANNYA KESEPAKATAN KEDUA BELAH PIHAK dan jika terjadi perbedaan pendapat antara pengusaha dan pekerja maka PHK hanya bisa dilakukan setelah melalui penetapan dari LEMBAGA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL, sehingga jika perusahaan melakukan phk tanpa ada penetapan lembaga tersebut bisa dikatakan sebagai PHK SEPIHAK-BATAL DEMI HUKUM.
MEMAKSA PHK DITENGAH COVID-19 DENGAN DALIL KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJUER)
Jika dikaitkan dengan pembahasan di atas terminologi force majuer ini tidak diatur secara khusus dalam hukum di indonesia, dan bagaimana keadaan memaksa tersebut juga tidak di jelaskan secara khusus. maka dengan demikian pemutusan hubungan kerja dalam ketenagakerjaan diatur secara khusus yang menyatakan,Keadaan memaksa ini bisa di katagorikan apabila perusahaan TUTUP SECARA PERMANEN dan akibat bencana atau epodemik covid 19 ini berdampak secara langsung ke perusahaan tersebut, namun faktanya beberapa kasus pemutusan hubungan kerja di Indonesia yang terjadi selama pandemi ini tidak menunjukkan demikian, sebab banyak perusahaan yang masih melakukan proses produksi walau ada pengurangan produksi maupun penjualan akibat ekspor, impor maupun akibat pelambatan ekonomi setelah COVID-19 ini dinyatakan sebagai pandemi oleh lembaga kesehatan dunia WHO dan menyebar hampir ke seluruh dunia termasuk indonesia.
Fakta bahwa pandemic tidak menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan secara permanen alias pailit, yang terjadi adalah penundaan produksi, pengurangan produksi dan pelambatan distribusi. pengurangan dan pelambatan tersebut semata-mata terjadi sebagai tindakan pencegahan penyebaran COVID-19. Hal ini terjadi dikarenakan industry dalam negeri bekarakteristik supply chains-rantai pasok global, artinya apabila perusahaan induk menunda produksi dan distribusi maka perusahaan pemasoknya-subcontraknya otomatis mengikuti, misalnya, industry sector otomotif, penghentian SEMENTARA produksi, distribusinya pada perusahaan induknya berakibat langsung ke perusahaan pemasok/pendukungnya. Dan sebaliknya, ketika kembali beroperasi maka otomatis juga perusahaan lainnya beroperasi kembali secara normal.
Selain itu, menurut data yang dipublikasikan BPS, indicator strategis ekonomi masih mengalami pertumbuhan walaupun memang terjadi kontraksi dan pelambatan. Dijelaskan bahwa Nilai ekspor Maret 2020 sebesar US$14,09 miliar, naik 0,23 persen jika dibanding ekspor Februari 2020 dan turun 0,20 persen dibanding ekspor Maret 2019. Nilai impor Indonesia Maret 2020 mencapai US$13,35 miliar atau naik 15,60 persen dibanding Februari 2020. Sementara itu, jika dibandingkan Maret 2019 turun 0,75 persen. Data tersebut menggambarkan bahwa di masa pandemic global tidak mengalami selisih yang sangat besar disbanding dimasa sebelum pandemic. Begitupun dengan Ekonomi Indonesia triwulan I-2020 terhadap triwulan I-2019 (y-on-y) tumbuh 2,97 persen, melambat dibandingkan capaian triwulan I-2019 sebesar 5,07 persen. Masih tumbuh walaupun mengalami kontraksi disbanding tahun sebelumnya (y-on-y).
Dengan demikian fakta-fakta tersebut menjelaskan bahwa perusahaan seharusnya tidak bisa secara langsung otomatis memanfaatkan situasi sekarang menjadikan COVID-19 sebagai keadaan memaksa (Force Majeure) untuk melakukan pemutusan hubungan kerja apalagi perusahaan tersebut tidak tutup secara permanen, ditambah buruh/pekerja juga adalah orang yang termasuk rentan terkena COVID-19. Maka PHK karena alasan COVID-19 seharusnya lah Batal demi hukum.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka pandemi COVID-19 ini seharusnya tidak bisa dijadikan dalil pemutusan hubungan kerja secara langsung terhadap pekerja karena;
- Tidak ada peraturan secara khusus yang mengatur tentang pandemi COVID-19 ini dikatagorikan sebagai force majeur dalam suatu perusahaan.
- Peraturan mengenai force majuer di indonesia yang bisa diterapkan dalam perusahaan ketika melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dalil force majuer harus memenuhi syarat dan unsur yaitu:
- Mengalami kerugian 2 tahun secara berturut dan bisa dibuktikan melalui akuntan publik (bukan laporan keuangan internal perusahaan yang dibuat secara sepihak)
- Perusahaan tutup secara permanen dan telah melakui mekanisme penutupan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Ditengah setiap orang berjibaku melawan COVID-19 PHK atas nama penyelamatan perusahaan tidak dapat dibenarkan dan bukan jalan keluar.
Bahwa berdasarkan pasal 164 ayat 3; Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat(4).
Selama pemutusan hubungan kerja tidak melalui kesepakatan antara pekerja dan pengusaha dan atau Penetapan dari lembaga pengadilan hubungan industrial maka PHK tersebut ADALAH SEPIHAK DAN BATAL DEMI HUKUM.
Penulis; tim advokasi FPBI
Refrensi;
- UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi edisi 120, Mei 2020; https://www.bps.go.id/
- Dokumen diskusi advokasi FPBI