Subscribe
FPBI | FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA – KESATUAN PERJUANGAN RAKYAT
  • HOME
  • OPINI
  • ADVOKASI
  • KEGIATAN
  • GALLERY
  • HOME
  • OPINI
  • ADVOKASI
  • KEGIATAN
  • GALLERY
No Result
View All Result
FPBI | FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA – KESATUAN PERJUANGAN RAKYAT

COVID-19; Peninjauan Terhadap Rencana Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil

by Suara Perjuangan Buruh
Juni 27, 2024
in Opini
312 10
1k
SHARES
5.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

 

Mengawalinya dari beberapa pengertian. Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontamina. Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.

Sedangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi (UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan).

Selanjutnya mengenai Darurat Sipil menurut PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1959 TENTANG KEADAAN BAHAYA, Ketentuan Umum  menjelaskan (1) Presiden / Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
  3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Beberapa hari kemarin negara melalui pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa dalam kerangka pencegahan COVID-19 selain himbauan-himbauan, rencananya akan menerapkan Pembatasan Sosial Skala Besar yang kemungkinan diikuti dengan kebijakan Darurat Sipil. Muncul pertanyaan, kenapa kebijakan itu yang akan diambil, kenapa bukan karantina wilayah?

Karantina Wilayah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan bagian respon dalam mencegah COVID-19, kebijakan ini penting diambil untuk menutup akses bagi Virus Korona untuk tidak menyebar semakin luas dan cepat. Artinya keselamatan dan kesehatan warga negara menjadi perioritas, lebih utama dibandingkan dengan pertimbangan ekonomi termasuk pertimbangan anggaran dalam menjawab kebutuhan pokok rakyat selama masa karantina.

Karantina wilayah selain Kesehatan dan keselamatan menjadi utama, juga mengedepankan hak-hak rakyat yang sedang mengalami karantina. Hal ini sesuai dengan pasal 7 dan pasal 8 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan;

  1. Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraabb kekarantinaan Kesehatan.
  2. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan Kesehatan dasar sesuai dengan kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.

Akan tetapi kebijakan itu tidak menjadi pilihan, kenapa?, Asumsinya; Pertama: Pemerintah kahwatir situasi ekonomi semakin memburuk. Terpaparnya ekonomi global bukan semata-mata karena COVID-19 tapi adanya penyakit penyertaan yang sudah ada sebelumnya yaitu faktor krisis – penyakit bawaan (Kapitalisme) yang terbawa sejak krisis ditahun 1998. Masalahnya Indonesia sangat bergantung pada para investor (swasta) terkhusus rantai pasokan global. Hal ini ditandai dengan ketergantungan pada Impor (bahan baku industri, barang jadi) dan juga ekspor. Sementara pengimpor dan negara tujuan ekspor juga terserang COVID-19 yang sudah lebih dulu melakukan lockdown/karantina wilayah.

Situasi tersebut menggambarkan bahwa industri yang menjadi milik Indonesia menjadi patut untuk dipertayakan, industri mana yang dimiliki sepenuhnya oleh Indonesia? Kalau kebijakan Karantina diterapkan, maka ketakutannya adalah para investor tidak mau masuk dan investor yang sudah ada akan kabur. Jika demikian adanya, maka IMUNITAS EKONOMI INDONESIA sangat lemah alias SAKIT.

Padahal, Indonesia dengan potensi yang ada dengan segala keunggulan komperatif yang dimiliki seharusnya mampu membangun industri nasional yang kuat dan mandiri yang tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia, sederhananya, Indonesia sangat mampu membangun berbagai sector industri makanan, minuman, baja, tambang, garmen, textile dan lain sebagainya, swasta berposisi sebagai pemain cadangan jika tidak mau ditiadakan.

Asumsi kedua; bila karantina diterapkan maka mau tidak mau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan pemerintah (Pusat bersama Daerah) harus mengeluarkan anggaran, yang berarti merombak susunan anggaran yang sudah tersusun sebelumnya. Tidak itu saja, tapi juga persoalan kemampuan anggaran, karena beban anggaran yang cukup besar untuk pembiayaan karantina wilayah. Jika demikian adanya, itu berarti IMUNITAS KEUANGAN INDONESIA sangat lemah alias sakit parah, maka Indonesia yang katanya kaya raya ini patut dipertanyakan, kemanakah kekayaan Indonesia yang berlimpah itu?

Padahal, untuk melakukan karantina, beberapa kajian mengatakan Indonesia masih mampu untuk melakukan pembiayaan karantina wilayah, tinggal butuh political will saja untuk menerapkannya, bahwa itu akan mengganggu susunan anggaran yang sudah ada, IYA, tapi demi Kesehatan dan keselamatan Rakyat itu jauh lebih utama.

Asumsi ketiga; bila kebijakan karantina wilayah/lockdown diambil akan memungkin terjadinya kepanikan massal, barang-barang menjadi langka, harga-harga tidak terkendali, akhirnya memungkinkan berujung pada kerusuhan sosial diberbagai Daerah. Asumsi ini tentu saja akan terjadi jika pemerintah membiarkan rakyatnya kelaparan dirumah, sakit dirumah, buruh dirumahkan tanpa upah, singkatnya akan terjadi kepanikan Ketika lockdown/karantina kalau kebijakan itu didasarkan pada kemarahan dan kepasrahan.

Berangkat dari asumsi tersebut, pemerintah akhirnya mengambil pilihan dalam bentuk himbauan-social distancing (jaga jarak), perilaku hidup sehat (rajin cuci tangan, pakai masker, penyemprotan disfektan, dll.), pembatasan transportasi public, stay at home, bekerja dirumah, belajar dirumah.

Faktanya kebijakan Himbauan itu ternyata tidak mampu menekan laju penyebaran COVID-19. Data per 31 Maret 2020, jumlah terpapar COVID-19, pasien positif sebanyak 1.528 orang, 81 orang sembuh, 139 orang meninggal dunia. Kasus tersebut tersebar di 31 Provinsi dan 16 Provinsi berstatus Darurat. Selain itu, himbauan tidak bisa melarang rakyat keluar rumah karena harus mencari nafkah-daripada kelaparan sekeluarga dirumah, tidak mampu menahan laju mobilisasi rakyat-pulang kampung (mudik dini), masker langka, harga melonjak, penghasilan sehari-hari rakyat semakin menurun, omset UMKM menurun, Omset Ritel menurun, perusahaan mengurangi pekerja, mengurangi upah pekerja, kesemua itu berujung pada penurunan daya beli bahkan bisa mencapai zero demand.

Sedangkan perusahaan tetap memperkerjakan buruh/pekerja lalu berteriak minta insentif dengan alasan mencegah PHK dan menunaikan THR. Rupiah merosot dan seterusnya dan seterusnya. Sekali lagi Himbauan itu gagal untuk melindungi Kesehatan dan keselamatan rakyat, gagal untuk melindungi ekonomi.

Terus, kegagalan itu mau ditambal dengan mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar, ingat bukan karantina wilayah. Pada prinsipnya sama dengan himbauan sebelumnya bahkan terbilang sudah terjadi, bedanya pemerintah memiliki payung hukum dibanding sebatas himbauan untuk melakukan tindakan lebih tegas tanpa beban anggaran pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Jika dalam praktiknya ini masih gagal, rencananya akan menerapkan kebijakan Darurat Sipil.

Pada tahap Darurat Sipil, merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah pengganti Undang -Undang  negara berarti dalam keadan BAHAYA. Status tersebut menentukan perubahan sikap dan perilaku pemerintah terhadap rakyat.

Darurat Sipil lebih mengedepankan hak pemerintah untuk mengendalikan situasi dalam berbagai bentuk menurut rencana-rencana yang sudah dibuat, karena negara ber-status BAHAYA. Hal ini sesuai dengan pasal 17 PERPU No. 23 Tahun 1959 tentang keadaan Bahaya menjelaskan bahwa penguasa Darurat Sipil berhak;

  1. Penguasa darurat sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar (pasal 13).
  2. Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas Namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa (pasal 14 ayat (1)).
  3. Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum (pasal 16).
  4. Penguasa darurat sipil berhak;
  5. Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio.
  6. Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar,tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;
  7. Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

Selanjutnya pada Pasal 46 menjelaskan;

Ayat (1) Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berhak, apabila perlu dengan memakai kekerasan meniadakan, mencegah, menjalankan atau mengembalikan dalam keadaan semula segala sesuatu yang sedang atau yang telah dibuat atau diadakan, dilakukan, diabaikan, dirusakkan atau diambil, bertentangan dengan Peraturan ini atau peraturan-peraturan atau perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer Penguasa Perang berdasarkan Peraturan ini.

(2) Biaya tindakan yang diambil oleh Penguasa Darurat Sipil/Penguasa Darurat Militer/Penguasa Perang berdasarkan hak tersebut dalam ayat (1) pasal ini ditanggung oleh si pelanggar. Biaya ini dapat ditagih dengan surat paksaan yang sama kekuatannya dan sama cara menjalankannya seperti suatu salinan resmi dari suatu keputusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diubah lagi.

Gambaran di atas menjelaskan kepada kita, bahwa penguasa berdasarkan undang-undang dapat mengambil Tindakan tegas dalam bentuk pelarangan (tidak lagi bersifat himbauan) baik secara persuasif maupun represif, meskipun itu bertentangan dengan kehendak rakyat atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dengan demikian demokrasi dan juga HAM tidak lagi menjadi pertimbangan, tidak lagi jadi batasan dalam bertindak atas nama menyelamatkan NEGARA, semua tindakan-tindakan penguasa darurat sipil adalah SAH.

Dengan begitu, Darurat sipil kontraproduktif dengan pencegahan COVID-19 yang partisipatif-melibatkan rakyat secara luas, karena kebijakan tersebut justru akan melemahkan semangat dan bisa memancing kemarahan rakyat karena negara melepaskan tanggungjawabnya menghadapi wabah dan dampaknya disektor yang lain. Selain itu menjadi tidak tepat tindakan-tindakan pelarangan secara sepihak yang intensitasnya akan semakin sering dilakukan ditengah kesulitan rakyat ditengah wabah menular.

Bahwa wabah virus korona bukan lah salah rakyat maka sudah seharusnya pemerintah lebih memaksimalkan tanggungjawabnya yaitu memastikan APD tenaga medis, APD bagi rakyat dan memberlakukan karantina wilayah alias Lockdown dengan tetap menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyat selama karantina, sesungguhnya yang demikian itu jauh lebih bijaksana yang semakin menumbuhkan optimisme rakyat menghadapi wabah dengan segala kesulitannya. Lebih baik (negara) miskin demi Rakyat daripada Kaya tapi rakyatnya menderita.

Lalu untuk apa merencanakan Darurat Sipil? Bukankah yang dalam keadaan bahaya adalah Rakyat? atau jangan-jangan darurat sipil hanya sebagai pembenaran. Waallahhualam bisawab.

 Terakhir, karantina wilayah/lockdown lebih tepat dibandingkan dengan pembatasan sosial skala besar dan darurat sipil, jika negara tetap memaksa menerapkan darurat sipil, maka kita harus sesegera mungkin mengkongkritkan berbagai ide-ide yang ada di buruh dan rakyat sector lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk diambil. Konkritisasi ide tersebut bisa dilakukan dalam berbagai ruang-ruang konsoldiasi baik tingkat nasional maupun ditingkat wilayah di seluruh Indonesia.

*penulis; sasak (pengurus aktif FPBI)

 

Share408Tweet255Pin92Scan
Previous Post

THE INDONESIAN WORKER’S STRUGGLE FEDERATION STATEMENT OF ATTITUDE

Next Post

Industrialisasi Nasional Secara Mandiri adalah Jawaban atas Krisis Ekonomi

Next Post
Industrialisasi Nasional Secara Mandiri adalah Jawaban atas Krisis Ekonomi

Industrialisasi Nasional Secara Mandiri adalah Jawaban atas Krisis Ekonomi

Buruh Bangkit Melawan dan Bangun Partai Massa*

Facebook Twitter Pinterest


Taman Buaran Indah III - Blok D/5

Duren Sawit - Jakarta Timur

Archives

  • Mei 2025
  • Juni 2024
  • Mei 2024
  • Juli 2023
  • Juni 2023
  • Mei 2023
  • April 2023
  • Maret 2023
  • Agustus 2022
  • Mei 2022
  • April 2022
  • Februari 2022
  • November 2021
  • April 2021
  • Oktober 2020
  • Agustus 2020
  • Juli 2020
  • Juni 2020
  • Mei 2020
  • April 2020
  • Maret 2020
  • Februari 2020
  • Desember 2019
  • September 2019
  • Agustus 2019
  • Juli 2019
  • Juni 2019
  • Mei 2019
  • April 2019
  • Maret 2019
  • Februari 2019
  • Januari 2019
  • Desember 2018
  • November 2018
  • Oktober 2018
  • September 2018
  • Juni 2018
  • Mei 2018
  • April 2018
  • Maret 2018
  • Februari 2018
  • Januari 2018
  • Desember 2017
  • November 2017
  • Oktober 2017
  • September 2017
  • Agustus 2017
  • Juli 2017
  • Juni 2017
  • Mei 2017
  • April 2017
  • Maret 2017
  • November 2016
  • Oktober 2016
  • September 2016
  • Agustus 2016
  • Juni 2016
  • Mei 2016
  • April 2016

Categories

  • Berita
  • cerita perjuangan
  • Gallery
  • Hallo Advokasi
  • Kegiatan Kita
  • Opini
  • Puisi
  • Uncategorized

 

FPBI CALL CENTER

 

Call : (021) 86602636. WA : +62852 1160 0039

Jam operasional layanan call center :
Senin – Jum’at (kecuali libur nasional)
pukul 08.00 – 16.00 WIB

FPBI Call Center

@2024 - FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
No Result
View All Result
  • Advokasi
  • Beranda
  • Gallery
  • Kegiatan
    • Buruh PTP FPBI PT MCI Gelar Rapat Kerja Pengurus
  • Opini
  • PERNYATAAN SIKAP FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA Peringatan Hari Buruh Internasional Tahun 2025

@2024 - FEDERASI PERJUANGAN BURUH INDONESIA