Tit tit tit tit….alarm berbunyi tanda jam menunjukan pukul empat pagi, badan masih meminta untuk direbahkan, tetapi mau tidak mau yuli harus bangun mengingat jam 06.15 harus sudah siap mendengarkan arahan kerja dari atasan. Telat bangun lima belas menit bisa berabe urusan anak sekolah dan pekerjaan.
Setiap pagi jam empat, yuli sudah mulai berkutat didapur menyiapkan sarapan keluarga, sholat subuh lalu bersiap untuk berangkat kerja. Jarak dari Tambun ke Kota Bekasi sebetulnya cukup dekat, namun pada saat hari kerja jalanan macet mengharuskan yuli berangkat lebih pagi. Ya, jam lima pagi yuli sudah keluar dari rumahnya ditambun menggunakan sepeda motor menuju pabrik tempat kerjanya didaerah Kota Bekasi. Biasanya yuli sampai dipabrik sekitar jam 06.00, langsung masuk kearea pabrik dan diharuskan absen maksimal jam 06.15 padahal jam kerja yuli baru dimulai pukul 06.30 – 14.30, waktu 15 menit sebelum bekerja digunakan oleh atasan untuk brifing kerja yang tidak dihitung sebagai jam kerja, tetapi jika yuli dan kawan-kawanya telat absen 1 menit saja selama empat kali dalam sebulan bisa mendapatkan sanksi peringatan ( sp 1 ) dan pemotongan upah smpai dengan Rp 50.000,-.
Astri tinggal dibekasi dan bekerja disebuah perkantoran di daerah Tebet Jakarta, Astri memilih menggunakan kereta sebagai sarana transportasi menuju tempat kerjanya, jam kantor yang dimulai pukul 08.00 – 17.00 juga mengharuskan Astri berangkat lebih pagi. Setidaknya pukul 06.00 Astri sudah harus naik kereta dari stasiun bekasi, pada hari – hari kerja, setiap gerbong kereta KRL penuh dengan penumpang, boro-boro mendapat tempat duduk,bisa berdiri dengan nafas lega saja sudah beruntung. Dari stasiun Bekasi sampai stasiun Tebet melewati tujuh stasiun, setiap stasiun kereta berhenti untuk menaikan/menurunkan.
Mereka yang sudah menunggu di peron stasiun seperti kerumunan semut menyerbu makanan ketika kereta datang, alhasil kereta makin penuh dan penumpangpun susah bernafas. Jika ada yang tanya mengapa tidak menunggu kereta berikutnya saja supaya dapat yang kosong? Eeeee jangan salah, kereta-kereta berikutnya juga sama penuhnya, kecuali jika kamu mau menunggu sampai orang-orang habis berangkat kerja, yang artinya kamu akan telat masuk kerja.
Lain lagi cerita Sri yang bekerja dipabrik elektronik dikawasan industri MM2100 Cibitung, sri berangkat dan pulang kerja menggunakan bus jemputan pabrik dari tempat tinggalnya didaerah cikarang. Setiap pagi pukul 05.30 sri sudah berkumpul dengan temannya dipinggir jalan raya menunggu bus jemputan. Telat naik bus jemputan bisa – bisa tidak masuk kerja, oleh karenanya sri bangun tidur lebih pagi, terkadang didalam bus jemputan itulah sri melanjutkan tidurnya sebelum sampai dipabrik untuk mulai bekerja jam 07.00.
Jono bekerja disebuah pabrik spare part motor dikawasan industry Jababeka, dia bersama teman-temanya tinggal diperkampungan belakang kawasan industri, jarak rumah kontrakan ke pabrik sekitar 2 km, maka jono harus berjalan kaki kurang lebih 40 menit untuk sampai dipabrik. Jono tidak memiliki kendaraan. Ia berjalan kaki setiap berangkat dan pulang kerja.
Cerita diatas adalah gambaran bagaimana buruh harus sampai tempat kerja lebih awal sebelum mulai bekerja : mengendarai motor saat pagi masih gelap, berdesak-desakan dikereta, tidur di bus jemputan dan longmarch di kawasan industri. Rata- rata waktu tempuh buruh sejak keluar rumah,menunggu trasportasi sampai pulang kerumah adalah 3-4 jam diperjalanan belum termasuk waktunya untuk bekerja. Pengusaha tidak pernah bertanya bagaimana buruh bergulat dijalanan dan bagaimana kondisi fisiknya, yang perusahaan mau adalah buruhnya mulai bekerja tepat waktu dengan kondisi fisik yang prima.
Setelah bekerja, berapa banyak waktu kah yang tersisa?
Yuli, astri, sri dan jono adalah contoh buruh-buruh yang menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk menghasilkan suatu barang/jasa atas perintah atasannya. Keseharianya adalah sebuah rutinitas, perjalanan berangkat 1-2 jam – terkurung dalam gedung pabrik selama 8+3 jam lembur- lalu perjalanan pulang 1-2 jam. Sisa waktunya adalah untuk merebahkan badan agar esok bisa kembali bekerja.
Apa yang dihasilkan buruh dalam waktu 7-10 jam bekerja? Yuli misalnya, bekerja disebuah pabrik makanan pada bagian packing, yuli sudah bekerja selama dua belas tahun, sejak proses packing masih dilakukan secara manual sampai berdatangan mesin- mesin packing semi otomatis. Saat masih packing secara manual ( memasukan produk kedalam plastik kemasan menggunakan tangan ) yuli dan timnya yang terdiri dari enam orang dapat mengemas makanan sebanyak 600 pack @500gr dalam waktu 1,5 jam, lalu hasil kemas tersebut divacum menggunakan mesin vacum selama 1 jam. Artinya 600 pack membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam sampai produk siap dikirim kegudang. Ketika berganti menggunakan mesin packing semi otomatis tidak membutuhkan pekerjaan vacum tersendiri, karena produk keluar dari mesin sudah dalam kondisi kemasan vacum. Jika dibandingkan dengan packing manual, packing dengan mesin jauh lebih cepat, 600 pack dapat diselesaikan dalam waktu 15 – 20 menit saja dengan jumlah tim yang sama 6 orang. Maka tinggal dikalikan saja berapa banyak yang dihasilkan buruh selama bekerja 7 jam wajib dan jika diharuskan lembur sampai 10 jam.
Dalam kurun waktu tersebut, buruh bekerja dengan cara berdiri, tangan dan mata fokus pada mesin yang terus berjalan untuk dimasukan produk, jika kelewat maka kemasan akan kosong. Kadang untuk sekedar minum air putih saja buruh harus menunggu saat mesin sedang bermasalah untuk memastikan supaya tidak ada yang terlewat.
Meskipun buruh mampu menyelesaikan pekerjaan dengan waktu yang lebih cepat menggunakan mesin, nyatanya tidak otomatis merubah waktu kerja buruh menjadi lebih pendek. Buruh tetap bekerja selama 7 jam bahkan lebih, mengapa demikian ? Bukankah seharusnya ketika teknologi mampu mempersingkat pekerjaan berbanding lurus dengan semakin pendeknya waktu kerja buruh ?
Menjawab hal tersebut ada beberapa sebab :
- Kemudahan dan percepatan produksi dengan kecanggihan teknologi dimanfaatkan oleh perusahaan untuk semakin meningkatkan keuntunganya dengan terus menaikan jumlah target produksi. Ditempat yuli bekerja, saat masih bekerja manual perusahaan memberikan target produksi 14 ton perhari, namun setelah menggunakan mesin target meningkat menjadi 25 ton perhari.
- Perkembangan ekonomi dalam hal ini dunia industri (manufacture maupun jasa) tidak mendapatkan respon yang cepat dari Negara-pemerintah dengan meninjau ulang peraturan jam kerja. Sederhananya, menurut hukum yang berlaku jam kerja sebanyak 7 jam untuk 6 hari kerja dan 8 jam untuk 5 hari kerja tetap berlaku. Ketika buruh memperjuangkan pengurangan jam kerja, tentu saja akan sangat mudah dijawab oleh perusahaan-hukumnya begitu, ngapain ngotot, selesai sudah. Akhirnya, bagi buruh sangat ketat namun bagi pengusaha sangat fleksibel.
Dengan rutinitas tersebut, buruh akan semakin terasing dengan dunia luar, bagaimana tidak, tenaga dan pikiran buruh sudah habis ditempat kerja. Lalu bagaimana dengan urusan yang lain? Buruh juga manuasia yang membutuhkan waktu untuk bercengkrama dengan keluarga, bersosialisasi, menambah pengetahuan dan liburan. Hal ini bukan hanya milik mereka yang punya jabatan dalam perusahaan, tetapi buruh juga berhak untuk mendapatkanya. Istirahat mingguan yang kadang juga masih diserobot pengusaha dengan kerja lembur dihari libur tidak cukup bagi buruh untuk merefresh otak, bahkan untuk menambah pengetahuan. Maka buruh membutuhkan waktu kerja yang lebih pendek atau istirahat yang lebih panjang.
Meskipun demikian adanya, bagi kita kaum buruh harus lah mulai berbenah dan memperkuat diri dengan pengetahuan dan persatuan, situasi yang kita hadapi sesungguhnya semakin berat, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk menghentikan perjuangan demi kebaikan bersama, seperti halnya para pengusaha yang tidak pernah berhenti sedetikpun meningkatkan produksi dan meraup keuntungan.
Maka Kemajuan zaman, kemajuan perkakas produksi harus juga berarti kemajuan kesadaran bagi buruh untuk mendapatkan kerja layak dengan upah layak dan jam kerja yang pendek. So……..kita harus terus berjuang jika kita tidak mau semakin tenggelam dalam keterasingan yang sangat dalam atas diri kita, keluarga kita dan masyarakat.
penulis : Yuni Fitriani ( Bendahara Federasi Perjuangan Buruh Indonesia )