
Peringatan 26 Tahun Runtuhnya Soeharto
Jakarta – Pada 21 Mei 2024, terhitung 26 tahun Soeharto telah turun dari jabatannya. Namun, jejak dosa terdahulunya masih terus diwariskan dari satu kepemimpinan kepada kepemimpinan lain di Indonesia. Oleh karena itu, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) mengadakan Mimbar Demokrasi di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada 21 Mei 2024. Kegiatan ini bertujuan untuk menyuarakan korban-korban kekerasan Soeharto dan pemimpin-pemimpin yang mewarisi sikap anti-demokrasi oleh lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
“Kita tahu hak berdemokrasi saat orde baru itu sangat sedikit. Ketika ada orang orang dari gerakan rakyat ingin menyuarakan keinginannya, dibungkam” ujar Sunarno, Pimpinan Kolektif Gebrak
Sejak runtuhnya Soeharto, harapan masyarakat Indonesia untuk berdemokrasi nampaknya masih jauh dari harapan. Hal tersebut terbukti dari adanya penyusutan ruang-ruang demokrasi partisipatif yang ada di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh KONTRAS, sejak Januari 2022 hingga Juni 2023 saja sudah terdapat 183 pelanggaran kebebasan berekspresi yang menghasilkan 272 korban luka-luka, 3 meninggal dunia, dan 957 orang ditangkap.
Amnesty International pun mencatat bahwa tahun 2023 merupakan tahun dengan kasus serangan fisik tertinggi terhadap pembela HAM sejak tahun 2019 silam. Hal tersebut terlihat dari adanya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM yang menghasilkan 268 korban dari berbagai kelompok masyarakat sipil, seperti jurnalis, masyarakat adat, mahasiswa, aktivis papua, petani dan aktivis HAM, perburuhan, dan lainnya. Bahkan, People’s Water Forum pun dipaksa bubar dan panitianya diretas. Hal ini menandakan warisan anti-demokrasi yang dibangun oleh Soeharto masih terasa hingga saat ini.
“Saat ini, kehidupan demokrasi masih dihambat, mulai pembubaran People’s Water Forum, union busting, penggerebekan asrama Papua, dan perubahan undang-undang yang menjadi legitimasi penghambatan demokrasi. Hal ini menandakan kerusakannya bukan kerusakan individual, melainkan sistemik” Isnur, Ketua YLBHI.
GEBRAK pun mengamati semakin menguatnya warisan anti demokrasi ini. Hal tersebut terlihat dari diberangusnya suara buruh, jurnalis dan kelompok masyarakat sipil lainnya dalam menyuarakan haknya. Ditambah lagi, mahasiswa penerus generasi bangsa dipaksa terjerat utang untuk membayar uang kuliah tunggal dan iuran pengembangan institusi yang semakin tidak masuk akal sehingga waktu untuk berpikir kritis akan digantikan dengan waktu bekerja untuk membayar utang.
Situasi-situasi tersebut menandakan adanya penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Marcus Mietzner, seorang akademisi, menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami penyusutan melalui cara-cara yang tidak terlalu terlihat dan terjadi di berbagai kelompok elit politik. Oleh karena itu, kita perlu melakukan aksi kolektif untuk menguatkan demokrasi di Indonesia.
“Kita semua sudah berupaya melakukan advokasi hak hak rakyat, dan kemarin kita juga tahu, pasca dua kali periode rezim Jokowi justru banyak kebijakan yang buruk, seperti Omnibus Law yang bukan hanya berdampak pada buruh, tapi juga yang lain” Ungkap Sunarno, Pimpinan Kolektif GEBRAK.
Berkaca dari hal tersebut, GEBRAK ingin merangkul semua serikat buruh maupun organisasi masyarakat sipil lainnya untuk membangun kembali kekuatan politik rakyat dalam merebut demokrasi untuk mengubah sikap otoritatif pimpinan di Indonesia. Dalam momen Mimbar Demokrasi ini, lebih dari 30 organisasi masyarakat sipil menyerukan:
- Hidupkan kembali demokrasi partisipatif di Indonesia.
- Berikan hak hidup yang layak bagi kelompok perempuan, buruh, petani, masyarakat adat, dan pekerja kampus, dan buruh perikanan
- Berikan hak atas pendidikan dan batalkan kenaikan harga UKT
- Cabut semua aturan otoritatif pemerintah seperti Omnibus Law
- HentikanProses Pengesahan RUU Penyiaran
- Lindungi kebebasan berpendapat, jurnalisme, dan aktivisme di Indonesia