
“Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri-(nya) sendiri.”
Tan Malaka: Dari Penjara Ke Penjara
137 tahun yang lalu, tepatnya 1 Mei 1886, ketika pecahnya peristiwa Haymarket di Chicago – Amerika, kaum buruh yang berada dalam sistem kerja yang menindas yang dihadapkan dengan jam kerja dan upah yang tidak layak menyatakan dirinya sebagai sebuah kekuatan yang mampu menciptakan perbaikan nasib bagi rakyat semesta. Tidak lain tidak bukan, upah dan 8 jam kerja yang kita nikmati saat ini adalah buah dari perjuangan kelas buruh di masa lampau. Maka diperingati lah 1 Mei setiap tahunnya sebagai Hari Buruh Internasional/sedunia.
Saat ini, khususnya kelas buruh Indonesia, mestilah kita akui dengan hati yang jujur, bahwa kita (kelas buruh) telah mengalami kemunduran dalam perjuangan melawan sistem kapitalisme yang menindas kita. Berbagai keadaan kita alami, mulai dari merasa nyaman dengan yang kita nikmati sekarang, penumpasan gerakan rakyat yang dilakukan oleh kekuasaan dan sebagainya turut mengambil peran dalam kemunduran dan melemahnya gerakan buruh di Indonesia. Lantas apa hasilnya? Tidak lain tidak bukan adalah kita (kelas buruh) memberikan keleluasaan bagi kekuasaan untuk seenaknya membuat kebijakan yang semakin menindas kita (rakyat). Tidak sulit untuk membuktikannya, kita sebut saja UU KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Minerba dan berbagai kebijakan lainnya sama sekali tidak mampu dihadang oleh gerakan rakyat yang terus melemah. Walhasil, kita tanpa sadar telah memberikan “dukungan bisu” terhadap penindasan serta memperpanjang rantai penindasan terhadap diri kita (kaum buruh) dan rakyat semesta.
Tulisan singkat ini tidaklah bermaksud menggurui atau bahkan mendikte kawan-kawan seperjuangan sekalian, melainkan hanya bermaksud memberikan sebuah gambaran reflektif atas keadaan kita sebagai sebuah organisasi dan cita-citanya untuk “membangun tatanan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya” serta keberadaan kita sebagai individu yang masih ditindas oleh sistem kapitalisme. Keadaan organisasi yang dimaksud adalah keadaan dimana melemahnya hasrat kita dalam melakukan perlawanan yang secara terang benderang kita rasakan di tempat kita bekerja, keadaan yang membuat kita seakan kehilangan harapan untuk mewujudkan cita-cita mulia organisasi demi kemanusiaan yang di dalamnya tidak ada penindasan manusia terhadap manusia lainnya.
***
Mungkin pertanyaan yang harus kita tujukan kepada diri kita sendiri saat ini adalah “apa yang alasan yang membuat kita masih bertahan di organsiasi?” apakah kita hanya berinvestasi melalui iuran bulanan agar kita mendapatkan advokasi dari organsasi ketika tersandung kasus? Apakah hanya sebatas perkawanan yang membuat kita bertahan di organisasi? Pertanyaan pendek dan sederhana, tapi akan sulit untuk dijawab ketika kita ditantang harus jujur menjawabnya.
***
Menurut pendapat penulis, tepatlah pernyataan Tan Malaka pada awal tulisan ini, mampu dan sanggupkah kita merelakan dan mengorbankan “setengah” dari kenyamanan dan kemerdekaan kita untuk perjuangan membebaskan kelas buruh khususnya dan bangsa kita, Indonesia pada umumnya dari belenggu penindasan? Di tengah praktek penindasan yang semakin samar dan semakin tidak terasa pada jiwa dan raga kita, tentunya akan sulit untuk membentuk kesadaran dan kerelaan dalam berjuang. Hal demikian sangatlah berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan yang mana kaum buruh dan rakyat tidak hanya dijajah secara sekonomi, tapi juga dijajah secara jiwa dan raga-nya sehingga perlawanan untuk menjadi bangsa yang merdeka sangatlah luar biasa hebat dengan waktu, harta, tenaga dan nyawa taruhannya.
Namun, jika kita Kembali berkaca pada diri kita, dengan hasil perjuangan di masa lalu yang kita nikmati saat ini, lalu apa yang bisa dan harus kita lakukan sebagai anak dari sebuah zaman saat ini? Apa yang sudah dan akan kita perbuat untuk mengukir sejarah bahwa sepanjang penindasan masih bercokol di muka bumi, maka sepanjang itu juga perlawanan akan terus ada dan akan terus kita lakukan. Semata-mata demi hari depan yang lebih baik untuk kita kaum buruh dan keluarga kita, semata-mata untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
***
Kawan-kawan, saudaraku sekalian yang masih setia pada garis massa, yang masih memegang teguh prinsip bahwa kita yang akan terus melawan, kita yang akan terus “belajar dan berjuang” dan menegakkan kekuasaan rakyat semesta yang sejati dan menorehkan tinta dalam perjalanan bangsa Indonesia yang menentang segala bentuk penindasan, pada kesempatan ini saya mengajak kita semua menundukkan kepala untuk merenung dan menginsyafi bahwa kita adalah sebuah kelas masyarakat yang masih ditindas dan dijajah di atas tanah air kita sendiri, di bumi pertiwi kita sendiri.
Marilah kita Kembali melihat ke belakang, bahwa perjalanan Panjang Federasi Perjuangan Buruh Indonesia untuk mencapai cita-citanya masihlah memerlukan dukungan serta peran aktif setiap individu di dalam organisasi kita, memerlukan sebuah hubungan yang persaudaraan senasib sepenanggungan, bersedia dan ikhlas mendidik diri dan memajukan kemampuan diri serta menginsyafi kekeliruan dalam sikap dan Tindakan kita, siap melancarkan kritik yang membangun serta siap menerima kritik, bersetia pada Hakikat Garis Massa yang menempatkan kepentingan umum di atas segalanya ketimbang kepentingan individu dan golongan, siap memimpin dan siap dipimpin. Maka sebuah keniscayaan kita akan mampu bangkit dan menjadi sebuah organisasi yang kuat serta siap bertarung dengan sistem dan kekuasaan yang menindas. Panjang umur perjuangan kelas pekerja, jayalah kaum buruh Indonesia.
***
Sekian
Ditulis oleh Martin Luis, Staff Departemen Pengembangan Organisasi PP FPBI