
Sudah menjadi harapan bagi para pekerja, untuk mendapatkan tunjangan hari raya (THR) setiap tahunnya saat menjelang perayaan hari raya keagamaan. THR merupakan pendapatan non upah yang wajib diberikan dan dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh.
Sejarah perjuangan kaum buruh menuntut THR
Tulisan ini sekadar mengingatkan tentang kisah perjuangan di balik perolehan THR yang besarannya bisa sampai satu bulan gaji. Ada sejarah panjang sebelum pekerja bisa mendapat THR seperti sekarang ini. Karena ketika pertama kali ada, besarannya masih belum bisa disebut layak.
Istilah THR pertama kali muncul pada era Pemerintahan Sukarno. Lebih tepatnya saat kabinet Soekiman Wirjosandjojo yang merupakan kader Partai Masyumi tahun 1951. Saat itu salah satu program kerjanya adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (kini dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara).
Menurut Sejarawan Asep Kambali dalam penjelasnnya lewat akun sosial media Instagramnya @asepkambali, pemberian THR pada era kabinet Soekiman tampak politis. Karena saat itu para pamong pradja merupakan para priayi atau ningrat yang sejak zaman kolonial berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan Sukarno. ”Nampaknya, Soekiman memiliki rencana terselubung guna mengambil simpati para PNS agar mendukung kabinet yang dipimpinnya itu,” tulis Asep kemarin (22/5).
Mulanya THR diberikan sebesar Rp125 hingga Rp200 kepada para ASN. Sekarang uang sejumlah itu mungkin setara dengan Rp1,2 juta sampai Rp2,5 jutaan.
Lalu setahun kemudian, tepatnya pada 13 Februari 1952, kaum buruh yang rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan, melakukan protes keras. Para buruh yang melebur menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) memimpin demonstrasi besar-besaran, bahkan mogok kerja, menuntut agar diberikan tunjangan dari pemerintah.
Kata Asep perjuangan mereka mulai menemukan titik terang saat Ahem Erningpraja menjadi Menteri Perburuhan pada Kabinet Kerja II (18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962). Walaupun besarannya belum mencapai sebulan gaji kotor, tapi THR wajib dibayarkan sebagai hak buruh dengan masa kerja minimal 3 bulan. ”Kebijakan tersebut tertuang dalam Permen (Peraturan Menteri) Perburuhan No.1 tahun 1961,” katanya.
Sampai sekarang, THR telah menjadi hak seluruh pekerja baik ASN/PNS maupun swasta. Meski organisasi buruh terbesar saat itu SOBSI telah dibubarkan karena dianggap bagian dari PKI. Saat ini hak penerimaan THR pekerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Lebih spesifik ketentuannya secara khusus diatur dalam Permenaker 6/2016.
Ketentuannya, pekerja yang telah mempunyai masa kerja selama satu bulan berhak mendapatkan THR dengan perhitungan proporsional (masa kerja dikali satu bulan upah dibagi 12). Sementara pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan atau lebih diberikan THR sebesar satu bulan gaji.
Tapi apakah semua pekerja/buruh mendapatkan THR?
Istilah pekerja/buruh menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Artinya kita sebagai pekerja berhak atas pemberian THR tersebut, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak semua pekerja mendapatkan/menerimanya.
Menteri Ketenagakerjaan melalui Surat Edaran Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan menyatakan dalam angka 1 huruf b, menyatakan bahwa THR keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu, sedangkan disekeliling kita banyak pekerja/buruh yang tidak memiliki kejelasan hubungan kerja, hal ini tentunya akan berpengaruh pada pendapatan akan THR.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, yang kemudian diubah dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022, yang mana baru saja telah disahkan oleh DPR menjadi UU tidak membuat nasib pekerja/buruh menjadi lebih baik, akan tetapi malah semakin memperburuk keadaan. Fleksibelitas ketenagakerjaan, menyebabkan tidak adanya kejelasan terkait hubungan kerja.
Perjanjian kerja mitra, saat ini sedang marak dijadikan sebagai bentuk modus oleh perusahaan alih daya/outsourcing untuk membayar upah pekerja dengan upah murah, dan juga hak lainnya seperti tidak di ikut sertakannya pekerja dalam program BPJS, hal tersebut tentunya juga akan berdampak pada pemenuhan hak-hak pekerja lainnya salah satunya adalah pembayaran/pemberian THR.
Bahwa setiap pekerja yang sudah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus berhak atas penerimaan THR sebesar 1 bulan upah atau lebih sepanjang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dan bagi pekera yang bekera kurang dari 12 bulan maka besaran THR dihitung secara proporsional.
Lalu bagaimanakah dengan nasib para pekerja mitra?
Dengan anggapan bahwa yang berhak menerima THR adalah pekerja dengan hubungan perjanjian kerja waktu tertentu atau waktu tidak tertentu, maka pekerja/buruh yang bekerja tanpa perjanjian kerja yang jelas tentunya pengusaha akan semena-mena dalam memberikan THR kepada pekerja/buruhnya. Untuk itu penting bagi pemerintah, seharusnya menjamin para pekerja/buruh untuk mendapatkan THR tanpa memandang status kerja pekerja sepanjang pekerja/buruh tersebut bekerja di tempat kerjanya.
Untuk itu, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia, membuka posko pengaduan THR, dengan harapan semua pekerja mendapatkan THR sebagaimana mestinya hak yang harus diterima.
No kontak posko – posko antara lain :
- Wilayah Medan / Deliserdang / Asahan : 082242362880
- Wilayah Labuhan Batu / Labusel : 081290385153
- Wilayah Batam : 08999665805
- Wilayah Jakarta : 082112019171
- Wilayah Kota Bekasi : 081906340548
- Wilayah Kabupaten Bekasi : 08987699659,085761754198
- Wilayah cianjur /Jawa timur / NTB : 082130531580