
Buruh merupakan penggerak ekonomi negara. Tanpa ada kerja –kerja dari buruh maka perekonomian akan mengalami stagnasi. Produksi barang terhenti, distribusi tersendat, serta melemahnya tingkat konsumsi pada suatu negara. Semua komoditi yang kita pakai dan gunakan merupakan hasil karya dari tangan –tangan terampil kelasburuh. Begitu vitalnya peran buruh dalam tatanan ekonomi yang saat ini sangat kapitalistik. Namun sering kita jumpai bahwa kondisi buruh justru berada dalam kondisi yang belum layak. Hampir setiap waktu kita mendengar kasus PHK banyak terjadi, perjuangan upah yang dilakukan oleh buruh setiap tahunnya, juga status kerja selalumenjadi problem yang tidak pernah lepas dari sektor perburuhan.
Kini, perjuangan buruh semakin menemui hambatan baru. Pemerintah Jokowi / Ma’aruf Amin telah menerbitkan UU Cipta Kerja atau yang biasa disebut Omnibus Law. Omnibus Law sangat sarat dengan kepentingan Korporasi baik nasional maupun internasional. Dengan berbagai aturan turunannya dampak dari Omnibus Lawsangat merugikan kelas buruh seperti pembatasan kenaikan upah yang sangat rendah, pengurangan nilai pesangon, hingga semakin fleksibelnya status kerja bagi buruh. Paska disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak dan massal semakin menggerogoti nasib para pekerja. Seperti yang dirilis oleh Kumparan.com, dari Januari hingga Agustus 2021, jumlah pekerja yang terkena PHK tercatat 538.305 orang; bahkan Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan.
Kemenaker telah memproyeksikan hingga akhir tahun 2021, jumlah pekerja yang di PHK bisa mencapai 894.579 orang. Indah Anggoro Putri, dalam Integrity Constitutional Discussion (Kamis, 12/8/2021), mengungkapkan bahwa jumlah rata-rata pekerja yang terkena PHK tiap bulannya mencapai 76.900 orang; dan, jika dikalikan dalam 12 bulan maka mencapai 922.800 pekerja yang di PHK hingga akhir 2021—lebih tinggi dari proyeksi awal Kemenaker. Sekalipun belum ada data ter-update jumlah PHK pekerja pada tahun 2022, namun kerentanan tersebut akan selalu mengancam klas pekerja. Sebagai contoh, baru-baru ini terjadi PHK massal di PT. Unilever Indonesia sebanyak 750 orang (dilansir oleh news.detik.com, 30/03/2022); sebanyak 47 buruh pabrik mobil di PT. Sokonindo Automobile atau DFSK Indonesia terkena PHK sepihak (dilansir oleh Tempo.co, 16/04/2022); kemudian, seperti yang dilansir oleh sindonews.com, kamis (17/03/2022), sempat juga terjadi PHK massal secara sepihak oleh PT. SiCepat Ekspres Indonesia (SiCepat) sebanyak 701 orang walaupun setelah mendapat panggilan dari Kemenaker, kemudian pihak perusahaan mempekerjakan kembali sebagian pekerja. Ini barulah sebagian contoh praktik PHK massal secara sepihak oleh beberapa perusahaan pada tahun 2022. Dan, tentu praktik-praktik tersebut akan terus masif terjadi dan dialami oleh buruh di tengah lemahnya supremasi hukum yang melindungi pekerja dan karena perkembangan digitalisasi (robotik, otomatisasi, AI) yang telah diadopsi oleh Perusahan, tentu akan berimplikasi buruk pada pekerja dalam hal pengurangan tenaga manusia.
Mengenai kebijakan pengupahan pun tidak luput dari keberingasan UU Cipta Kerja. Seperti kita tahu akhir tahun 2021 pemerintah menetapkan keputusan kenaikan upah sebesar 1,09%. Tentu ini merupakan kenaikan upah yang sangat merendahkan martabat kelas buruh. Kenaikan yang tidak akan mampu mencukupi kebutuhan minimum buruh, apalagi ditambah dengan situasi kenaikan harga sembako dan BBM yang semakin mencekik rakyat. Rakyat dipaksa menerima nasib sebagai korban ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara.
Kemudian, saat ini kaum buruh juga dihadapkan dengan skema pemberangusan serikat (unionbusting). sebab, RUU tentang Perubahan atas UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja telah masuk prolegnas sejak 2019. Tentu saja ini akan menjadi kekhawatiran bagi buruh—apabila hak demokratisnya justru dikerdilkan melalui RUU tersebut—maka “Serikat Buruh”, yang selama ini menjadi wadah dan media advokasi bagi buruh berpotensi dilemahkan. Seperti yang dilansir oleh pontas.id, Selasa (18/01/2022), menerangkan bahwa salah satu yang menjadi sorotan dan perlu direvisi adalah pada pasal 5-10 dalam UU Serikat Pekerja—yang dinilai terlalu mudah memberikan kesempatan bagi buruh untuk mendirikan serikat. Jika ini tidak dikawal, bisa saja terjadi “harmonisasi” hukum yang dapat mengakomodir kepentingan pengusaha.
Hilangnya Peran Negara
Negara saat ini hanya menjadi penonton bahkan menjadi fasilitator bagi kepentingan korporasi untuk merauk keuntungan yang lebih besar sementara nasib kelas buruhnya semakin ditekan hingga ke titik yang paling rendah. Negara tidak sanggup untuk menjalankan amanat Undang –Undang Dasar1945 untuk menghadirkan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan sosial bagi rakyat. Negara harus hadir dalam pemenuhan hak ekonomi sosial politik rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan harus menempatkan kepentingan rakyatnya sebagai landasan dalam setiap keputusan. Negara harus menolak terhadap setiap kepentingan korporasi dan negara asing yang merugikan kepentingan nasional.Negara harus berdaulat dan mengabdikan dirinya sebagai pelayan rakyatnya.
Apa yang harus dilakukan?
Kini, buruh dan rakyat tidak dapat lagi berharap banyak kepada negara. Negara saat ini hanya menjadi kepanjangan tangan korporasi. Begitu pun dengan Partai dan Elit Politik yang ada saat ini. Mereka berlomba-lomba mengatasnamakan dan menjual rakyat untuk memperkaya diri dan golongan mereka sendiri. Rakyat harus bersatu membangun kekuatan politik yang progresif. Perjuangan rakyat harus terus digelorakan disetiap teritori atau level masyarakat. Perlawanan harus terus dihidupkan dan dimenangkan ditiap pabrik, desa, pesisir pantai, kampus, kota, hingga nasional. Hanya kekuatan rakyat lah yang mampu membawa perubahan sejati bagi rakyat itu sendiri.
Dalam momentum peringatan May day 2022 dan Mei Berlawan, kami Federasi Perjuangan Buruh Indonesia menuntut :
- Cabut UU Ciptakerja No. 11 Tahun 2020 karena Inkonstitusional.
- Cabut UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan hasil revisi.
- Tolak Dwifungsi TNI-Polri dalam jabatan sipil.
- Berikan Akses Partisipasi Publik Seluas-luasnya Dalam Rencana Revisi UU SISDIKNAS.
- Hentikan Kriminalisasi Terhadap Gerakan Rakyat dan Tuntaskan Pelanggaran HAM.
- Turunkan Harga (BBM, Minyak Goreng, PDAM, Listrik, Pupuk, PPN dan Tol).
- Tangkap, Adili, Penjarakan, dan Miskinkan Seluruh Pelaku Koruptor.
- Tolak Revisi UU No 21 Tahun 2000 Tentang SerikatPekerja.
- Jalankan Upah Layak Nasioanal.
- Wujudkan UU Perlindungan Buruh.
- Berikan Jaminan Sosial Atas Pendidikan, Kesehatan, Rumah, Fasilitas Publik, dsb.
- Berlakukan Enam Jam Kerja Dalam Sehari.
Jalan Keluar:
- Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Hentikan Perampasan Sumber-Sumber Agraria.
- Bangun Industrialisasi Nasional dari Hulu Sampai Hilir Di bawah Kontrol Rakyat.
- Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan Bervisi Kerakyatan.
- Bangun Partai Massa Sebagai Wadah Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Nasional.
#RedaksiFPBI