Tunjangan Hari Raya adalah hal yang di nanti oleh kaum buruh menjelang Hari Raya. Bukan tanpa sebab dari masa ke masa THR sangat membantu memenuhi kebutuhan perayaan hari Raya di karenakan setiap menjelang Hari Raya hampir semua kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga, termasuk kenaikan harga di sector jasa seperti jasa transportasi alias angkutan umum.
Lantas kapan THR ini muncul dan menjadi Hak Buruh Indonesia?
Tepatnya pada tahun 50an Indonesia mengalami kemiskinan yang luar biasa sehingga Upah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar buruh pada waktu itu, jangankan untuk memenuhi serangakain kebutuhan acara perayaan keagamaan, untuk penuhi kebutuhan dasar pun di rasa berat bagi buruh pada waktu itu.
Dari hal tersebut dalam dalam sidang dewan Nasional II yang di laksanakan oleh SOBSI pada tahun 1953 mulai menyuarakan “Pemberian Tunjangan Hari Raya bagi semua buruh sebesar satu bulan upah. Bagi SOBSI yang merupakan serikat buruh terbesar pada waktu itu tuntutan THR bagi buruh merupakan Langkah yang harus diambil guna menjawab kebutuhan buruh dalam melaksanakan perayaan hari raya keagamaan.
Pelan tapi pasti tuntutan buruh semakin membesar sehingga pada tahun 1954, pemerintah mengeluarkan PP no 27 tahun 1954 yang berisi tentang Pemberian persekot (pinjaman) hari raya bagi pegawai negeri. Dan untuk meredam Gerakan buruh pada waktu itu pemerintah melalu Menteri perburuhan mengeluarkan surat edaran nomor 3676/54 yang berisi Hadiah lebaran bagi buruh yang di berikan secara sukarela oleh perusahaan.
Pasca tahun 1954 setiap tahunnya pemerintah mengeluarkan Surat Edaran terkait tunjangan hari raya bagi buruh yang sifatnya hanya sukarela dari perusahan. Hal inilah yang mendorong Gerakan buruh yang dipelopori oleh SOBSI terus menyuarakan dan mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan THR sebesar satu bulan upah.
Komitmen dalam perjuanganpun akhirnya mulai membuahkan hasil, pada tahun 1961 akhirnya muncul peraturan Menteri Perburuhan No.1/1961 yang menyebutkan bahwa THR Wajib dibayarkan dan menjadi Hak buruh dengan masa kerja sekurang kurangnya 3 bulan.
Bagaimana dengan THR 2020?
Berangkat dari situasi perjuangan THR dimasa lalu, hampir mirip dengan situasi kondisi saat ini. Di tengah upah murah yang hanya didasarkan pada rumus inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi sedangkan peninjauan kebutuhan minimum dilakukan 5 tahun sekali (baca;PP 78 tahun 2015) dan juga pandemi covid-19. Buruh banyak mengalami desakan-desakan secara ekonomi yang terus menguras upahnya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan juga alat pelindung diri guna mencegah penularan virus. Mengingat THR adalah upaya menyelamatkan buruh dari jurang kemiskinan maka seharusnya THR tidak bisa dikompromiskan terkait besaran dan waktu pembayarannya apalagi ditengah situasi buruh tetap bekerja dimasa wabah yang sangat mematikan.
Keluarnya surat edaran (SE) menteri tenagakerja RI No. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2020 di perusahaan dalam masa pandemic corona virus Disease 2019 (COVID-19) prinsipnya adalah memberikan keringanan bagi perusahaan untuk menunda dan atau mencicil THR, ketika perusahaan tidak mampu membayar THR pada waktu yang sudah ditentukan.
Bahwa Frasa “Perusahaan tidak mampu membayar THR” sangat sulit dibuktikan apalagi oleh buruh yang tidak memiliki akses keuangan kecuali terposisikan bekerja dan mendengar kata rugi dari para manajemen perusahaan. Selain dari itu jikapun perusahaan membuka laporan keuangannya dihadapan buruh/pekerja belum tentu juga itu adalah laporan sesungguhnya, bisa jadi laporan keuangan yang berbeda dari apa yang sebenarnya ada, hal itu sangat mungkin terjadi karena yang membuat itu adalah perusahaan dan buruh/pekerja tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengauditnya apalagi menurut standar akuntansi nasional.
Kesulitan membuktikan itu tentu saja SE Menaker tersebut akan lebih berkecenderungan kuat pertama; kearah sisi peluang bagi tiap-tiap perusahaan untuk mengatakan tidak mampu atau merugi atau tidak ada barang yang dijual untuk membayar THR. Kedua; karena terkait waktu, cara pembayaran THR dan Dendanya ini diserahkan secara Bipartit (perundingan dua pihak antara manajemen perusahaan dengan buruh/pekerja/serikat buruh), dengan alasan yang sama (merugi/tidak mampu) memungkinkan THR tidak ditunda ataupun dicicil apalagi dengan denda tapi dikurangi alias THR tidak dibayar penuh, bisa sebesar 50%, 30% dan seterusnya.
Mengingat THR dalam sejarahnya adalah menyelamatkan buruh dari himpitan ekonomi agar tetap mempunyai daya beli atas kebutuhan pokok akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan harga kebutuhan pokok menjelang hari raya keagamaan. Karenanya THR seharusnya wajib di berikan apalagi dalam situasi pandemic termasuk THR bagi buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja/pemutusan kontrak menjelang Hari raya sebagai perlindungan dasar ekonomi buruh bersama keluarganya yaitu terpenuhinya kebutuhan perayaan hari raya keagamaan.
Buruh harus tetap hati-hati dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan merugikan buruh. Apa yang sudah menjadi hak tetaplah hak tidak boleh dikurangi hanya boleh dilebihkan, begitu juga halnya dengan THR sebagai hak dasar buruh. Ditengah pandemic global tentu saja buruh akan dibuat dilema antara mengambil THR meskipun kurang daripada tidak sama sekali, antara THR dibayar dengan dicicil ataupun ditunda, dilema dengan situasi yang logis untuk menentukan pilihan yang paling mungkin daripada tidak sama sekali.
Tidak..! katakan tidak pada pengurangan THR apalagi ada perusahaan yang tidak mau membayarnya, sekali lagi katakan Tidak..! Kita harus tetap mempertahankan apa yang menjadi hak kita. Mempertahankan hak berarti kita harus tetap siap sedia memperjuangkannya, dengan tetap setia menggalang persatuan antar sesama buruh baik dilingkungan kerja maupun diluar pabrik. Kita sangat sadar situasinya semakin sulit karena itu lah kita harus tetap berjuang dan bersama-sama melewati ini. Semoga segala badai segala berlalu dan kita semua selalu dalam Lindungan Tuhan YME.Amiin.
Herman Beb (ketua FPBI Cabang Kab. Bekasi).