Meskipun demikian rencana revisi tersebut tetap digulirkan puncaknya pada akhir-akhir kepemimpinan Jokowi-JK periode pertama. Begitupun dengan penolakannya terus membesar samapai akhirnya rencana tersebut tidak jadi ditetapkan sebagai program legislasi nasional prioritas. Terlepas dari itu ada beberapa UU yang lolos dan disahkan diakhir periode I seperti revisi UU KPK yang dinilai publik sebagai upaya pelemahan Lembaga pemberantasan korupsi.
Tidak sampai disitu, dengan segala cara, akhirnya rezim Jokowi periode II menggunakan metode revisi melalui mekanisme Omnibuslaw yaitu menggabungkan beberapa UU salah satunya UU ketenagakerjaan yaitu dengan mengubah, menggabungkan dan menghapus pasal-pasal yang menurut penguasa tidak relevan untuk diberlakukan lagi karena tidak sesuai teks dan konteks menurut situasi yang berkembang.
Kehadiran Omnibuslaw di Indonesia yang mengenal system hukum civil law yang berbeda dengan common law dan ini sangat jelas tidak termaktub dalam tatacara pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga menuai banyak perdebatan dan kritik, karenanya kontroversial. Ditambah penyusunan dan pembahasan draftnya terlihat sangat tertutup seperti dirahasikan, maka menjadi sangat masuk akal masyarakat mencurigai karena tidak mengetahui bentuk dan isi dari omnibuslaw, kecuali mereka-penguasa dan pengusaha.
Setelah beberapa waktu, akhirnya penguasa mengeluarkan draft RUU Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang diubah Namanya menjadi RUU Cipta Kerja yang kabarnya sudah diserahkan ke DPR RI untuk dilakukan pembahasan dan pengesahan. RUU Cipta Kerja total kurang lebih sebanyak 684 halaman dan khususnya klaster yang berkaitan ketenagakerjaan sebanyak 27 halaman. Halaman tersebut menggabungkan beberapa UU menjadi satu draft yang nantinya disetarakan dengan UU-tapi bisa mengubah dan membatalkan beberapa UU.
Bahwa salah satu point konsideran RUU Cipta Kerja-Menimbang bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan dan perlindungan usaha mikro, keccil dan menengah, peningkatan ekosistem investassi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesehatan pekerja dilakukan melalui perubahan UU sectoral yang dilakukan secara parsial tidak efektif dan efisien untuk menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum melalui pembentukan UU dengan menggunakan metode Omnibus Law yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa UU secara komprehensif.
Jelas bahwa RUU Cipta Kerja yang selevel dengan UU yang lain bisa mengubah dan membatalkan karena alasan tidak efektif dan tidak efisien, meskipun dalam hirarkti peraturan perundang-undangan tidak mengatur akan hal itu. Akhirnya menjadi pertanyaan seperti apa terobosan yang dimaksud, seperti apa aturan yagn tidak efektif dan efisien yang dimaksud dan seperti apa peningkatan perlindungan dan kesehatan pekerja yang dimaksud?
Tentang perlindungan buruh perempuan
Menjawab beberapa pertanyaan di atas, penulis mencoba mengkaji RUU Cipta Kerja pada bagian ketenagakerjaan khususnya mengenai hak buruh perempuan. Sebelum itu, mari kita lihat beberapa hak-hak normative buruh termasuk di dalamnya hak buruh perempuan yang diatur dalam UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Bahwa buruh perempuan sebagaimana kita ketahui bersama-tanpa maksud membeda-bedakan, sering sekali mendapatkan perlakukan diskriminasi, mulai dari hubungan kerja sampai dengan masalah upah termasuk menjadi korban pelecehan seksual dalam berbagai bentuk.
Buruh perempuan menurut UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah tergolong sebagai tenaga kerja sekaligus pekerja/buruh sebagaimana yang didefinisikan pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 (2), (3) UUK 13 tahun 2003. Artinya buruh perempuan memiliki kedudukan hak yang sama dengan buruh/pekerja laki-laki, bahkan buruh perempuan memiliki lebih banyak hak daripada hak buruh/pekerja laki-laki dan mendapatkan pengaturan khusus mengenai perempuan pada pasal 76, 81, pasal 82 UUK 13 tahun 2003.
Meskipun demikian, tentu saja substansi perlindungan normatif buruh perempuan tersebut masih tergolong rendah dan praktiknya buruh perempuan masih banyak yang tidak mendapatkan hak-haknya, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus, terutama banyak terjadi pada buruh perempuan yang belum bergabung dalam serikat buruh/serikat pekerja.
Selanjutnya mari kita menuju RUU CILAKA, ehh cipta kerja. Pada draft RUU cipta kerja bab mengenai ketenagakerjaan ada beberapa hal yang perlu disampaikan terkait dengan perlindungan buruh perempuan, diantaranya;
- Hubungan kerja;
Pertama; perubahan pasal 56, 57, 58, 61, dan Penghapusan pasal 59 pada UUK 13 tahun 2003 sangat kuat melemahkan posisi tawar dan kuat mengarahkan buruh perempuan tidak terkecuali buruh laki-laki dalam jebakan system kerja kontrak berkepanjangan disemua bagian dan sector pekerjaan, selain itu, karena lemahnya mekanisme hubungan kerja (PKWTT&PKWT) buruh menjadi sangat rentan pemutusan hubungan kerja seketika artinya bisa dikontrak selama-lamanya masa kerja, juga kerja kontrak yang sangat pendek, hal ini bagi perusahaan yang mengedepankan profit dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan tentu saja sangat menguntungkan mereka-terkategori low cost, belum lagi magang sebagai topeng penutup ketidakpastian kerja bagi buruh perempuan.
Kedua; penghapusan pasal 64, 65 dan perubahan pasal 66 mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain alias outsourcing substansinya tidak berbeda dengan perubahan mekanisme pada kerja kontrak yaitu sama-sama akan membawa buruh pada jebakan hubungan outsourcing yang terpisah dari perusahaan utama, hal ini berimplikasi negative pada pemenuhan hak-hak buruh, misalnya dalam peningkatan kesejahteraan, buruh tidak lagi bisa mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dimana mereka bekerja (perusahaan utama) tapi diarahkan ke perusahaan penyedia jasa tanagakerja, sementara perusahaan outsourcing tidak ada aktivitas produksi, sehingga akan selalu berada dan berkata perusahaan tidak mampu. Maka disamping ketidakpastian kerja juga ketiadaan perlindungan dan kesejahteraan buruh/pekerja.
- Waktu istrahat dan Cuti
Pertama; perubahan pasal 79 (5) mengenai hak istrahat panjang “……perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama”, sedangkan pada UUK 13/2003 pasal 79 point (D), hal ini bisa bisa berimplikasi pada implementasi norma ketenagakerjaan karena hak istrahat Panjang tidak lagi menjadi kewajiban yang diharuskan UU kecuali diatur dalam peraturan perusahaan atau kesepakatn bersama dalam perjanjian kerja bersama (PKB) dengan kata lain mekanisme bipartite.
Kedua; Perubahan pasal 93 pada RUU Cipta Kerja menghilangkan hak pekerja perempuan untuk mendapatkan upah ketika berhalangan pada saat haid dihari pertama dan kedua sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. Selain itu, perubahan pasal 93 juga bisa menurunkan kualitas hak bahkan bisa hilang sebagian (jika tidak keseluruhannya) hak buruh untuk mendapatkan upah ketika sakit, ketika menikah, menikahkan dan mengkhitankan anak, membaptis anak, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami/isteri, orang tua/mertua, atau anak atau menantu meninggal dunia, anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.
- Hak atas Upah
Buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan yang berkategori industry padat karya memungkinkan kehilangan upah minimum yang sama baik kuantitas maupun kualitasnya dengan pekerja yang bekerja di non padat karya, hal ini jelas sekali di rancang dalam RUU Cipta Kerja pasal 88E. sedangkan pengelompokkan industry padat karya dan non padat karya adalah wewenang pemerintah bersama pengusaha, sementara buruh/pekerja hanya sebagai obyek sosialisasi.
Setidaknya 3 hal di atas memberikan sedikit gambaran mengenai kemungkinan dampak buruk yang akan ditimbulkan ketika omnibus law RUU Cipta Kerja disahkan. Dengan demikian, bagi buruh/pekerja khususnya perempuan pada Omnibus law RUU cipta kerja menunjukkan tidak ada kuantitas dan kualitas substansi yang lebih baik yang mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada buruh perempuan saat ini dan dimasa yang akan datang, sebaliknya justru mengarah pada kemunduran kualitas hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan karenanya tidak lah lebih berposisi sama seperti komoditas lainnya dalam rantai produksi barang dan jasa.
*penulis; khoti’ah (pengurus pusat FPBI)