Kita sama-sama mengetahui bahwa upah merupakan indikator utama kesejahteraan buruh karena kemampuan mendapatkan barang/jasa akan diukur seberapa besar dan berkualitas upah yang dimiliki semakin kecil kualitas upahnya maka semakin rendah juga kemampuan belinya terhadap komoditi. Sebaliknya, semakin tinggi kualitasnya maka semakin tinggi juga kemampuan daya belinya.
Kemunculan upah tentu saja tidak serta merta bimsalabim ada, jika ditelusuri kita menemukan bahwa upah lahir dari proses yang cukup panjang yang disebabkan oleh gejala-gejala atau perkembangan ekonomi politik dalam sebuah perkembangan masyarakat dunia, begitupun halnya di Indonesia ada dan berkembang berdasarkan perkembangan masyarakatnya prapenjajahan, penjajahan (pra kemerdekaan), kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi hingga saat ini.
Dari sejarah kemunculan upah (dari dulu sampai sekarang) memberikan kesimpulan, pertama; upah sebagai bagian dari cost produksi, memiliki kesamaan dengan biaya produksi yang lain seperti harga bahan baku produksi ddn lain – lain. Kedua; upah merupakan sebuah kuantitas dan kualitas yang tidak constan (tetap, artinya produksi yang terus berkembang, harga-harga yang terus berkembang akhirnya mengakibatkan kuantitas dan kualitas upah yang ikut berkembang. Ketiga; upah merupakan hasil persetubuhan kepentingan ekonomi dan politik. Bagi seorang pengguna tenagakerja buruh tentu saja menginginkan upah lebih rendah, berbanding terbalik dengan kepentingan ekonomi buruh itu sendiri, sehingga perbedaan kepentingan ini yang coba didamaikan oleh negara melalu sebuah regulasi dan paket-paket kebijakan-siapa yang berkuasa maka dialah yang akan melahirkan konsep kedamaian menurut versi kepentingannya.
Di Indonesia, pertarungan kepentingan atas penentuan dan penetapan upah pasca reformasi terbilang cukup menghiasi dinamika ekonomi politik bangsa. Setiap tahunnya sejak disahkannya Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagkerjaan, upah menjadi perbincangan bahkan akhirnya mampu mencuri perhatian negara. Bagaimana tidak, satu sisi para pengusaha terus berteriak menginginkan upah jangan dinaikkan, sementara disisi yang lain buruh/pekerja/karyawan juga terus menerus menuntut upah dinaikkan. Tentu saja kedua-duanya memiliki dasar, bagi pengusaha beralibi jika upah dinaikkan maka perusahaan akan tutup alias bangkrut, jika upah dinaikkan akan memperbanyak PHK, jika upah dinaikkan akan terjadi semakin banyaknya perusahaan melakukan relokasi produksi dan sederet alasa-alasan lainnya.
Pernyataan tersebut gayung bersambut dengan para pemangku kekuasaan politik, jika upah dinaikkan akan mengakibatkan investor tidak mau masuk ke Indonesia dan investasi yang sudah masuk akan memindahkan modalnya ke negara lain alias kabur, jika upah naik akan berakibat meningkatnya angka pengangguran karena PHK yang terus-menerus, singkatnya kenaikan upah secara politik akan mengganggu stabilitas ekonomi negara.
Sementara buruh sebagi pihak yang berkepentingan kuat atas upah juga memiliki dasar kenapa upah harus naik secara layak. Akhirnya menjadi penting untuk saling menguji pandangan atas upah dari masing-masing pihak, sehingga bisa menemukan konsepsi upah yang tepat, itupun kalau secara jujur dengan berangkat dari itikad yang sama ingin menemukan jalan keluar dari polemik kenaikan upah sekaligus memecahkan mitos-mitos mengenai upah.
Kritik atas upah minimum
Indonesia negara yang menganut system pengupahan yang sering disebut dengan upah minimum. System ini tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan mulai dari peraturan setingkat menteri sampai setingkat undang-undang.
Menurut Peraturan Menteri tenagakerja RI No. 15 Tahun 2018 dijelaskan bahwa upah minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman.
Menurut UU 13 tahun 2003 tentang ketenagkerjaan, upah minimum diatur dalam pasal 89 ayat (1), (2), (3), (4). Secara garis besarnya menjelaskan tentang jenis, mekanisme penetapan dan dasar penentuan;
- Berdasarkan jenisnya; Upah minimum terdiri dari 2 jenis yaitu upah minimum kota/kabputen/provinsi dan upah minimum sektoral yaitu berdasarkan jenis atau sektor usaha sebuah perusahaan.
- Berdasarkan mekanisme penetapannya-Upah ditetapkan oleh gubernur ditiap-tiap provinsi dengan mempertimbangkan rekomendasi dewan pengupahan dan/atau bupati/walikota.
- Berdasarkan penentuannya; Upah ditentukan berdasarkan pencapaian kebutuhan hidup layak. Kebutuhan hidup layak yang dimaksud adalah mengacu pada keputusan menteri ketenagakerjaan.
Dalam tulisan ini, saya mencoba membahas kritik terhadap persoalan komponen kebutuhan hidup layak, sedangkan hal lain mengenai upah insaallah akan kita bahas dikesempatan yang lain. Mari mulai kita telusuri hidup layak yang dimaksud.
Berakar dari bahwa setiap orang berhak menapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak secara kemanusiaan (pasal; 27 ayat (2) UUD 1945). Disektor ketenagkerjaan pemerintah menurunkannya dalam undang-undang 13 tahun 2003 pasal 88 ayat (1) “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjut pada pasal yang sama ayat (2) “ Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menerapkan kebijakan pengupahan dan melindungi pekerja/buruh”. Lalu yang dimaksudkan dengan kebijakan pengupahan itu adalah salah satunya Upah minimum (upah terendah sebulan) sebagimana yang disebutkan diatas (pasal 89).
Upah terendah sebulan untuk setiap buruh/pekerja disetiap daerah ditentukan berdasarkan kuantitas dan kualitas komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Komponen tersebut tertuang dalam keputusan menteri tenagkerja Indonesia No. 13 tahun 2012 mengatur sebanyak 60 item KHL, peraturan ini perubahan atas peraturan menteri No 17. Tahun 2005 yang mengatur 46 item KHL.
Jumlah komponen KHL dalam peraturan yang dimaksud menjelaskan pertama bahwa kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan yang dimaksud berjumlah 60 item dengan kualitasnya masing-masing. Sehingga kebutuhan selain dari 60 item yang diatur tentu saja bukan menjadi tanggungjawab upah minimum. Mari kita teliti pelan-pelan;
- Jumlah komponen tersebut belum mewakili semua kebutuhan dasar buruh/pekerja. Karena kebutuhan setiap manusia juga mengalami perkembangan menurut kehendak masanya. Sehingga jumlah 60 item KHL masih terbatas.
- Jumlah komponen yang dimaksud diperuntukkan pencapaian pemenuhan kebutuhan buruh/pekerja lajang, sementara faktanya tidak semua buruh berstatus lajang, ada yang berkeluarga belum punya anak (K0), ada yang sudah berkeluarga memiliki anak 1 (K1) dan seterusnya. Bahkan lajang juga sesungguhnya punya keluarga, artinya bisa saja yang masih lajang merupakan tulangpunggung keluarga.
- Jika kita perhatikan lebih seksama, kualitas dari komponen yang ditetapkan masih rendah. Hal ini bisa dilihat pada tabel, misalnya konsumsi daging sekali sebulan dengan kualitas sedang sebanyak (0,75 kg), beras 10 kg sebulan dengan kualitas sedang. Lebih lengkapnya baca peraturan menteri tenagakerja 13 tahun 2012.
Selanjutnya, bila kita merujuk komponen KHL tersebut ditengah upah yang berbeda-beda di masing-masing daerah berakibat pada beberapa hal sebagai berikut;
- Buruh/pekerja tidak akan pernah mampu mencukupi semua kebutuhan dasarnya (layak bagi kemanusiaan) berdasarkan perkembangan kebutuhan yang ada, bahkan ada item komponen yang sudah tidak relevan alias basi. Atas hal itu pula, akhirnya yang menyebabkan buruh/pekerja terus menerus terjebak sama jeratan hutang dan/atau bentuk transaksi kredit.
- Ditengah upah yang berbeda-beda tanpa diikuti dengan pengendalian inflasi secara massif akhirnya upah riil buruh/pekerja mengalami penurunan daya beli atas barang/jasa disetiap daerah. Karena itu juga yang menyebabkan perkembangan ekonomi masyarakat disuatu daerah mengalami perlambatan dibandingkan dengan daerah yang buruh/pekerjanya memiliki daya beli lebih tinggi, atas itu pula para pencari kerja akhirnya memburu wilayah-wilayah dengan upah yang lebih tinggi bahkan tidak sedikit sampai keluar negeri.
- Komponen KHL dengan jumlah dan kualitas yang terbatas berakibat pada ketidakmampuan buruh menjawab standar kualitas hidupnya baik secara fisik maupun fsikis, seperti; Gizi, pendidikan dan lain-lain.
- Secara makro akibat daya beli yang tidak sama, kualitas yang terbatas berakibat pada ketimpangan ekonomi, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia baik di tiap daerah maupun nasional.
Pada perkembangannya, upah minimum dengan kondisi yang serba terbatas yang semula ditentukan berdasarkan survey perkembangan kebutuhan buruh/pekerja setiap tahun akhirnya dimandulkan oleh regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 yang mendapatkan penolakan keras dari buruh hingga saat ini.
Menurut Pertauran Pemerintah 78/2015 tentang pengupahan menjelaskan bahwa penetapan upah minimum dihitung menggunakan formula perhitungan upah minimum yaitu upah minimum adalah penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (Pasal 44 pp 78/2015). Sementara mengenai komponen hidup layak (KHL) yang dimaksud ditinjau sekali dalam jangka waktu 5 tahun (pasal 43 pp 78/2015).
Kehadiran PP 78/2015 suka tidak suka semakin mendistorsi makna upah layak dan menjauhkan target pencapaiannya. pertama; upah tidak lagi hasil survey pergerakan kebutuhan buruh/pekerja tiap tahunnya. Kedua; dasar penentuan upah tidak lagi berdasarkan jumlah komponen kebutuhan hidup layak, tapi berdasarkan rumus alias formula sebagimana yang dimaksud dalam pp 78/2015. Peraturan ini akhirnya memberikan makna bahwa kebutuhan buruh bersifat constant tetap selama 5 tahun, itupun dengan catatan jika ada perubahan komponen 5 tahun kedepannya. Sementara nilai produktivitas kerja buruh terus mengalami perkembangan setiap bulan dan setiap tahunnya.
Terakhir, terkhusus mengenai komponen KHL sebagai dasar penentuan upah seharusnya berdasarkan;
- Perhitungan upah layak merujuk pada jumlah kebutuhan buruh dan keluarganya dengan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh buruh dan keluarganyanya yang diperhitungkan secara layak.
- Jumlah keluarga yang diperhitungkan adalah istri/suami dan jumlah anak
- Komponen kebutuhan buruh terdiri dari kebutuhan fisik dan non fisik meliputi sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan reakreasi.
- Harus memperbaiki kualitas dan menambah jumlah komponen kebutuhanhidup layak dan harus berdasarkan survey riil kebutuhan buruh bersama keluarganya yang ditinjau secara berkala yaitu seminim-minimnya per 6 bulan sekali dalam tahun berjalan.
Dengan demikian, upah layak yang dimaksudkan bagi kemanusiaan tentu saja belum bisa diwujudkan ketika upah masih terpenjara oleh peraturan-peraturan yang menguntungkan menurut kehendak sepihak investasi. Sehingga Upah layak bagi kemanusiaan harus mampu memberikan makna layak secara universal, bukan satu atau dua daerah, bukan pula satu atau dua negara, bukan satu atau dua sektor perusahaan karena sesungguhnya kebutuhan dan keinginan buruh itu sama yaitu sama-sama menginginkan kesejahteraan sejati.
*penulis singkat; sasak (pengurus FPBI)
Refrensi;
- UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
- PP No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan
- Permenaker no 13 tahun 2012 tentang komponen kebutuhan hidup layak
- Pemenaker no 13 tahun 2018 tentang upah minimum
- Dokumen advokasi FPBI mengenai workshop upah layak nasional (2018)