Upah sebagai urat nadi masyarakat Indonesia yang bekerja baik sektor formal amaupun informal merupakan sandaran utama masyarakat Indonesia, tidak saja untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya tapi lebih dari itu juga untuk kemajuan peradabannya sebagai manusia yang bermartabat.
konsep upah yang diberlakukan pemerintah dan terbarukan dengan lahirnya formula alias rumus penetapan upah yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 menjadi bias dan kontraproduktif dengan usaha perbaikan hidup buruh bersama keluarganya. kenapa demikian??.
Rumus kenaikan upah yang menetapkan upah baru buruh yaitu hasil dari penjumlahan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tahun berjalan (2018) merupakan nilai rata-rata secara nasional dan tidak berdasarkan hasil survei riil kebutuhan buruh secara nasional, sehingga besaran kenaikan upah tidak mewakili sepenuhnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi ditahun mendatang (2019).
Artinya formula PP 78 2015 dalam menetapkan upah baru menjadi tidak relevan alias tidak sesuai dengan tingkat pemenuhan kemampuan daya beli buruh atas barang dan jasa di tahun yang akan datang (2019). apalagi pemerintah pusat (melalui kementerian tenagakerja RI) tidak memperbolehkan setiap kepala daerah menghitung kenaikan upah buruh melebihi angka yang telah ditetapkan.
Berdasarkan rumus, baru-baru ini pemerintah sudah mengumumkan kenaikan upah untuk upah tahun 2019 sebesar 8,03%. Angka tersebut muncul dari surat BPS (badan pusat statistik RI No. B-218/BPS/1000/10/2018) yaitu penjumlahan rata-rata pertumbuhan ekonomi (5,15%) dan inflas (2,88%). Dengan kata lain kebutuhan buruh di survei oleh BPS, sedangkan metode survei, indikator survei dirancang dan dilakukan oleh BPS.
Rumus kenaikan upah tersebut akhirnya menjadikan upah sebagai sekedar nilai statistik (pertumbuhan ekonomi dan Inflasi). Upah bukan lagi dilihat sebagai variabel penentu perbaikan hidup buruh bersama keluarga yang juga seharusnya berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana amanat UUD 1945.
Lalu?
Upah yang akhirnya disamakan dengan komoditas sepatutnya di TOLAK, karena buruh adalah manusia produktif yang menghasilkan nilai atas kerjanya dan harapan hidupnya sama dengan manusia yang lainnya-sama ingin anaknya sekolah tinggi berkualitas, sama ingin mendapatkan kesehatan yang berkualitas, sama ingin rekreasi ditempat yang layak, sama ingin punya tempat tinggal layak, singkatnya sama-sama ingin hidup sejahtera.
Kenaikan upah menurut rumus PP 78/2015 sewajarnya harus di ABAIKAN, karena hidup layak buruh bukan ditentukan oleh berapa persen rata-rata tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi tapi seharusnya berdasarkan Jumlah kebutuhan dan kualitas hidup layak yang seharusnya dipenuhi secara riil. sehingga penentuan upah harus berdasarkan survei rill item-item KHL di seluruh Indonesia.
Item-item Komponen-komponen hidup layak yang hanya berstandar buruh lajang dan ditinjau sekali dalam 5 tahun sudah sepantasnya di RUBAH TOTAL, karena 60 item-item komponen yang ada tidak mewakili buruh berkeluarga (K0, K1, K2, K3) dan sudah tidak relevan alias kadaluarsa dari segi kuantitas maupun kualitasnya. item komponen hidup layak harus terdiri dari item komponen buruh lajang (116 item), buruh keluarga belum punya anak (K0) sebanyak 117 item, buruh keluarga bersama anak (K1, K2, K3) sebanyak 121 item KHL.
Penetapan upah setiap tahunnya selalu bersama ancaman bahwa buruh tidak boleh demo, buruh harus menerima saja, kepala daerah tidak boleh menaikan upah di atas rumus PP 78/2015 dan bentuk ancaman lainnya sudah seharusnya upah ditetapkan oleh PEMERINTAHAN PUSAT dengan meninggalkan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman hidup layak yaitu memberlakukan “UPAH LAYAK NASIONAL YANG SAMA SECARA NASIONAL” berdasarkan survei rill kebutuhan hidup layak buruh bersama keluarganya dan setelah itu melakukan penyusaian upah berdasarkan tingkat kemahalan di tiap-tiap daerah. (***sasak)
#PANJANG UMUR PERSATUAN BURUH INDONESIA
Comments 1