
Jakarta. (spb.6/9/2018). Ruang sidang sarwata di pengadilan hubungan industrial Jakarta pusat hari ini penuh sesak dihadiri oleh buruh korban PHK PT Astra Internasional Daihatsu PreDelivery Center. Hari ini adalah sidang ke-2 setelah Hakim PHI melakukan panggilan secara patut karena pada sidang pertama tidak dihadiri oleh pihak pengusaha PT astra internasional Daihatsu pre delivery center.
Kasus PHK tersebut berawal dari serikat buruh yang tergabung dalam PTP FPBI PT Astra Internasional Daihatsu pre Delivery center meminta haknya menjadi karyawan tetap/buruh tetap sebagaimana yang diatur dalam undang-undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan karena seharusnya buruh tidak boleh di kontrak apalagi di outsourcing pada bagian inti proses produksi.
Menggunakan kerja kontrak & outsourcing diperbolehkan selama sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu pada jenis-jenis pekerjaan tertentu dan buruh yang berserikat tidak tergolong di dalam pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan outsourcing.
Selama 2 tahun berproses mulai dari jalan bipartite, pelaporan sampai mediasi di dinas tenagakerja setempat pihak perusahaan tetap membenarkan diri bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Padahal hasil pelaporan serikat buruh PTP FPBI PT AID-PDC yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui pengawasan ketenagkerjaan dalam bentuk nota pengawasan bahwa bagian pekerjaan tersebut tidak boleh menggunakan outsourcing dan harus diangkat menjadi karyawan tetap atau PKWTT. Akan tetapi pihak perusahaan tetap tidak mau melaksanakan nota pengawasan tersebut justru terus berupaya menolak yang akhirnya Dinas tenagakerja tiba-tiba melakukan perubahan nota pengawasan, awalnya pro buruh ehh malah jadi pro pengusaha. Ada apa kah???
Setelah keluarnya nota pengawasan pertama pihak serikat buruh mencoba untuk melakukan penetapan melalui pengadilan negeri supaya nota pengawasan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana merujuk pada keputusan mahkamah Konstitusi. Akan tetapi lagi-lagi pemerintah lempar sana lempar sini, alasan itu, alasan ini, di tambah perubahan nota pengawasan yang dilakukan oleh Dinas tenagakerja Jakarta Utara waktu itu.
Perubahan nota pengawasan yang bersifat khusus tersebut tentu saja mengindikasikan dinas tenagakerja melakukan pengingkaran terhadap hukum yang berlaku di Republik ini-tidak ada political will dalam menegakkan hukum demi kebaikan buruh sebagai bagian rakyat indonesia. Maka atas berbagai usaha, berbagai rintangan dan ancaman akhirnya serikat buruh mendaftarkan kasusnya di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri Jakarta pusat.

Selama proses kasusnya 2 tahun lamanya buruh yang menjadi korban PHK tidak mendapatkan upah tiap bulannya, padahal dalam hukum sangat jelas tafsirnya “bahwa selama PHK belum ada keputusan yang bersifat tetap maka kedua belah pihak tetap menunaikan hak dan kewajibannya” yaitu buruh berkewajiban bekerja dan berhak mendapatkan hak atas upah sebagai kewajiban pengusaha. Tapi lagi-lagi niat baik buruh untuk tetap bekerja sampai ada keputusan yang bersifat tetap dari pengadilan dilarang oleh perusahaan karena menganggap status kerja outsourcing itu bukan pekerja Daihatsu, meskipun buruh puluhan bekerja di Perusahaan tersebut.
Dari kilasan cerita di atas sesungguhnya menggambarkan secara nyata kepada kita bahwa hak-hak konstitusi buruh dipaksa tunduk dihadapan kesombongan pengusaha sang pemilik uang. Hak-hak buruh yang termaktub dalam Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagkerjaan hanyalah sebatas tulisan bersajak indah yang tidak terealisasikan dan terancam punah karena kekuasaan uang.
Sehingga pilihannya tetap kembali kepada kita buruh Indonesia apakah akan menerima begitu saja atau terus berupaya sungguh-sungguh belajar-melawan pembodohan dan berjuang-menegakkan hukum yang menjamin hak-hak konstitusi kita demi kemaslahatan bersama.
Dan kepada saudara kami buruh PT AID-PDC sebagai korban pemutusan hubungan kerja secara sepihak untuk tetap semangat, riang gembira menuntut hak meskipun kita sangat sadar pilihan ini berat, sulit dan panjang tapi percayalah dengan niat baik perlawanan yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia, setiap prosesnya penuh makna sebagai bagian dari kemenangan kita karenanya tidak ada kerugian bagi kita kecuali terbebasnya kita dari belenggu ketertindasan.
*Penulis adalah pengurus Departemen Pendidikan FPBI cabang Jakarta sekaligus ketua koperasi nasional FPBI.