Dari Redaksi
Jakarta (spb.5/9/2018). Sampai dengan hari ini terus mengalami tekanan seperti tidak ada daya untuk melawan Dollar yang terus mengamuk. situasi ini melahirkan berbagai analisa sekaligus prediksi terkait masa depan rupiah termasuk dampaknya terhadap ekonomi nasional secara makro.
Kondisi Rupiah yang terus tertekan tentu saja menandakan keadaan ekonomi yang sedang mengalami ketidakstabilan, hal ini tidak bisa ditutup-tutupin dengan seruan masyarakat jangan panik, woles aja karena situasi ini tidak akan mempengaruhi ekonomi masyarakat.
Seruan tersebut ternyata tidak bisa jadi obat mujarab meskipun untuk sekedar menghibur diri, diam diam pelemahan rupiah akhirnya semakin terbuka mempengaruhi tidak saja keuangan Negara tapi juga keuangan masyarakat dan lama kelamaan akan meluas ke sector-sektor rill.
Situasi ini mencuri perhatian publik bahkan tampak terlihat kepanikan di lembaga-lembaga Negara, beberapa paket kebijakan pun dikeluarkan dalam bentuk shortcut seperti menyerukan untuk menghentikan perjalanan keluar negeri , menjual dollar dan lainnya. Singkatnya tinggalkan Dollar mari kuatkan Rupiah.
Terlepas dari hiruk pikuk analisa para ahli pejabat, pelemahan rupiah bisa menjalar pada pelemahan rupiah buruh. Menurut data BPS pemerintah; tingkat inflasi tahun kalender (januari-agustus) 2018 sebesar 2,13%. Dan tingkat inflasi tahun ke tahun (agustus 2018 terhadap agustus 2017) sebesar 3,20%. Sementara patokan kenaikan upah buruh pada penentuan upah di akhir tahun 2017 adalah inflasi nasional sebesar 3, 72%. Artinya pada tahun kalender (agustus) 2018 kenaikan upah dari variable tingkat inflasi sebesar 0, 52%, sehingga bisa dikatakan upah tahun 2018 memiliki kemampuan daya beli yang sama dengan daya beli tahun kalender 2017. Terus kenaikan upahnya dimana???
Semakin menguatnya Dollar terhadap Rupiah bisa memicu kembali tingkat inflasi, terkhusus pada barang-barang kebutuhan pokok yang dimpor dan industry berbahan baku impor pada akhirnya nanti akan memberikan tekanan kuat terhadap daya beli buruh dan masyarakat umumnya (baca; https://m.liputan6.com/bisnis//read/657271/daftar-28-bahan-pokok-yang-masih-diimpor-indonesia). Kecuali memang para pengusaha-pemilik kekayaan berani mengurangi margin keuntungannya pada tingkat yang jauh lebih lebih rendah dari biasanya, dan penguasa melakukan intervensi pasar secara kuat, mungkin itu sedikit menahan laju inflasi. Kita lihat saja nanti faktanya.
Tentu saja kebutuhan buruh tidak saja cabe, telur, beras tapi juga banyak kebutuhan lainnya seperti tempat tinggal yang layak, barang-barang elektronik, otomotif dan lain sebagainya. Sementara buruh melakukan pengeluaran banyak juga menggunakan system kredit, artinya pelemahan rupiah dan seruan penguatan rupiah salah satunya kenaikan suku bunga acuan BI seperti halnya dilakukan pada Juni 2018 Bank Sentral Indonesia menaikkan suku bunga acuan dari 4,75% menjadi 5, 25% (https://economy.okezone.com/read/2018/07/07/278/1919196/rupiah-kembali-loyo-bagaimana-cara-bi-mengatasinya) dan sampai bulan ini Dollar malah justru semakin perkasa. Semakin tingginya bunga acuan BI berkonsekuensi pada transaksi yang menggunakan jasa kredit seperti kredit otomotif, kredit perumahan, kredit elektronik dan lain sebagainya. Dengan demikian nasib Rupiah Buruh (kualitas upah buruh) semakin diujung tanduk. Siap-siap mengencangkan ikat pinggang.
Mari kuatkan Rupiah dengan membangun industri nasional yang berdaulat di atas kaki sendiri dan kuatkan Rupiah buruh dengan upah layak yang sama secara nasional. (***ks).