Sebagai buruh atau pekerja atau karyawan baik PNS maupun swasta tentunya kita terima upah/gaji setiap akhir bulannya atau setiap kita selesai lakukan pekerjaan. Namun, sangat sedikit dari kita yang mau tau lebih dalam tentang upah. Banyak diantara kita yang yang hanya memahami bahwa upah itu adalah hasil kerja atau sering orang menyebutkan “ya kalau kita bekerja dapat upah dan besaran upah ya tergantung yang ngasih kerja”. Itu adalah gambaran umum masyarakat kita dalam memaknai upah.
Akan tetapi jika kita melihat lebih jauh lagi ternyata dalam penentuan upah tidak lah se simpel kita memaknai seperti di atas. Namun ada serangkaian proses panjang yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan dari mulai Survey KHL (Komponen Hidup Layak) sesuai dengan Permenaker 13 Tahun 2012 hingga pada perundingan-perundingan dalam penentuan Upah Minimum di tingkat kota/kabupaten.
Akan tetapi Permenaker 13 tahun 2012 tentang komponen hidup layak tidaklah mampu menjawab kebutuhan buruh secara layak. Kenapa demikian?
Dalam isian KHL ada beberapa item yang harus dirubah karena memang sudah tidak relevan lagi di gunakan di tahun sekarang. Misalnya dalam hal pendidikan di Permenaker 13 Tahun 2012 buruh harus memilih antara tabloid atau radio dualband dan sekarang 2 item ini sudah ketinggalan jaman seiring perkembangan teknologi dsb. Selain itu secara kualitas sudah tidak relevan lagi jumlah item juga harus ditambah dalam KHL juga harus ditambah karena memang item KHL buruh tidak hanya 64 seperti dalam Permen akan tetapi riil KHL buruh yang harus dipenuhi adalah kisaran 82 hingga 120 item.
Menurut pemerintah sendiri UMK merupakan batasan terendah upah buruh yang diberikan oleh pengusaha atau sering mereka istilahkan sebagai jaring pengaman upah buruh. Akan tetapi praktik di lapangan yang sering ditemui adalah hampir rata-rata buruh mendapatkan upah minimum baik yang lajang, berkeluarga dengan anak 1,2,3. Padahal dalam Permen 13 Tahun 2012 pasal 1 cukup jelas di sebutkan bahwa “KHL adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh/lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan hidup selama 1 bulan”. Sehingga bagi buruh yang berkeluarga harusnya mendapatkan upah diatas dari Upah Minimum.
Dalam proses perjalanannya dewan pengupahan sebetulnya tidaklah begitu signifikan dalam membawa buruh untuk dapatkan upah yang layak. Hal ini disebabkan karena dalam proses pengambilan keputusan dalam dewan pengupahan ketika terjadi kebuntuan dilakukan secara voting atau pemungutan suara. Hal ini menjadi kerugian besar bagi perwakilan buruh. Mengapa demikian? tentu kita tau bahwa Negara kita saat ini menganut system ekonomi yang kapitalistik sehingga hal utama bagi pemerintah yang di utamakan adalah bagaimana memperlancar arus modal (investasi) dan sialnya upah adalah bagian yang termasuk menghambat arus modal sehingga upah ini harus di tekan serendah mungkin. Dan komposisi dewan pengupahan terdiri dari Serikat buruh yang mewakili buruh, apindo perwakilan dari pengusaha dan pemerintah (1;1;2) sehingga ketika diambil keputusan secara voting pastilah kita akan kalah. Karena pasti pemerintah akan mengambil pilihan yang memang tidak menghambat perjalanan arus modal yaitu dengan mendukung berlakunya upah murah seperti keinginan para pemodal.
Selain itu hasil kerja dewan pengupahan bukanlah hasil mutlak atau keputusan final yang langsung bisa menjadi ketetapan upah bagi buruh. Karena hasil kesepakatan dewan pengupahan hanyalah rekomendasi dan masih di harus dipertimbangkan dan di putuskan/di sahkan oleh gubernur di setiap provinsi untuk bisa berkekuatan hukum.
Menurut data BPS kabupaten bekasi kenaikan upah sebelum tahun 2012 sangatlah kecil karena memang hanya selesai dalam meja perundingan yang memang menjadi arena perjuangan yang sudah dipastikan kaum buruh kalah dalam perjuangan upah. Namun setelah tahun 2012 terjadi perubahan besar dalam kenaikan upah buruh, hal ini di sebabkan partisipasi massa buruhnya dalam setiap perjuangan buruh mulai kampanye upah hingga pada pemogokan-pemogokan massal. Hal ini tidak memberi pilihan lain bagi pemerintah kecuali memberikan atau membuat ketetapan upah yang sedikit layak bagi kaum buruh agar roda ekonomi terus bisa berjalan.
Berikut data BPS Kabupaten Bekasi terkait kenaikan UMK dari tahun 2002 hingga 2015.
Di tahun 2012 hingga 2015 kenaikan upah begitu signifikan kenaikannya hal ini disebabkan daya tawar yang dimiliki kaum buruh tinggi karena partisipasi dari gerakan buruh juga tinggi. Hingga pada pertengahan tahun 2015 muncullah PP 78 Tahun 2015 yang merupakan bencana bagi kaum buruh. Selain mematok kenaikan upah hanya sebesar PDB (produk domestik bruto) + inflasi juga semakin membuat peran dewan pengupahan terpinggirkan dalam menentukan upah buruh.
Di tahun 2017 ini misalkan keterlambatan kenaikan upah terjadi di beberapa tempat akibat polemik yang di timbulkan oleh PP pengupahan ini. SK pengupahan tahun 2017 yang seharusnya terbit di akhir tahun 2016 tahun ini ada beberapa yang baru turun di tahun 2017 misalkan di bekasi yang turun di bulan maret 2017 dan karawang bulan juni 2017. Hal ini sangat merugikan bagi buruh karena harus memangkas beberapa biaya kebutuhan agar bisa bertahan sampai dengan kenaikan upah itu terjadi.
Selain polemik karena memang buruh menolak PP ini karena memang isinya justru menjauhkan buruh dari kesejahteraan. Berdasarkan PP 78 tahun 2015 tinjauan KHL dilakukan selama 5 tahun sekali. Padahal kita ketahui bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok terus merangkak dalam setiap momentum Hari Raya keagamaan, pencabutan subsidi, setelah kenaikan upah terjadi, kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok dsb. Sehingga ini menjadi tidak adil bagi orang-orang yang menerima upah atau buruh karena penggerusan kualitas upah terus terjadi pada setiap momentum kenaikan harga kebutuhan pokok. Sementara formula kenaikan upah berdasarkan PP 78/2015 hanya terjadi satu kali dalam satu tahun dan peninjauan KHL 5 tahun sekali. Sementara inflasi dan PDB bersifat fluktuatif atau tidak tetap sesuai dengan kondisi ekonomi daerah atau nasional.
Selain PP pengupahan ini bertentangan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, PP pengupahan ini juga akan membuat kesenjangan sosial bagi buruh sendiri. Misalnya berapa perbandingan upah antara Karawang dan Subang atau Purwakarta dengan jarak jika kita tempuh tidak sampai 2 jam perjalanan akan tetapi perbedaan upahnya kurang lebih 1 jutaan? Berangkat dari kesenjangan sosial inilah akhirnya menimbulkan dampak baru bagi daerah yang mempunyai upah lebih tinggi yaitu Urbanisasi yang sudah pasti selain menghambat kemajuan daerah yang ditinggal juga menambah kepadatan daerah yang didatangi dan menimbulkan deretan masalah baru seperti kemacetan, dsb.
Jadi idealnya pemerintah haruslah berfikir keras bagaimana mengkonsepkan sistem pengupahan agar berfaedah bagi kaum buruh bukan malah menjadi bencana bagi kaum buruh. Sebaik-baiknya upah adalah riil yang menjadi kebutuhan buruh yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan kesehatan yang layak dan diterapkan sama secara Nasional agar tidak memicu perpindahan pabrik. Dan untuk menjaga kualitas buruh paling tidak kenaikan upah juga dilakukan setiap setelah terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok. (**ap**)
**Penulis Singkat : Herman Susanto (Staf DPP PC-FPBI Kab Bekasi)