(Oleh : Redaksi FPBI)
19 April 2017
Tidak satu orangpun yang tidak membutuhkan liburan dalam berbagai bentuk untuk merilekskan segala kondisi tubuhnya baik sendiri atau bersama orang-orang terdekat dan tercinta, maka atas hal itu lah lahir perjuangan pengurangan hari dan waktu kerja.
Libur, ya liburan, siapa yang tidak mengetahui hal itu. Hampir setiap orang menginginkan hari-harinya penuh dengan riang gembira, memiliki waktu banyak bersama keluarga, memiliki waktu banyak untuk bersosial antar sesama manusia, memiliki banyak waktu untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, singkatnya memiliki banyak waktu untuk ini dan itu.
Buruh yang bekerja setiap hari berdasarkan jadwal kerja yang telah dibuatkan oleh sang pemilik perusahaan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yaitu buruh bekerja 8 jam kerja sehari dan 40 jam seminggu hari kerja dan buruh yang bekerja 7 jam dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja (pasal 77 (1), (2) UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Lebih dari itu maka bukan waktu kerja wajib tapi jam kerja tambahan atau yang disebut lembur. 8 jam kerja setiap harinya tidak berlaku apabila hari kerja tersebut bertepatan dengan tanggal merah atau libur nasional yang ditetapkan pemerintah.
Bekerja 8 jam kerja atau 7 jam kerja setiap hari mulai dari senin-sabtu atau senin-jumat, maka terdapat 2 hari libur untuk 8 jam kerja dan 1 hari libur untuk 7 jam kerja. Pertanyaannya kemudian adalah apakah waktu yang tersisa tersebut cukup menjawab liburan sesuai yang diinginkan? Darimana 8 jam atau 7 jam kerja tersebut? Dan kenapa masih banyak buruh bekerja di hari libur?
Historisnya jam kerja sebagaimana yang ada dan dinikmati sekarang merupakan hasil dari gerak massa rakyat sebelumnya di mana terdapat proses yang panjang nan sulit yaitu hasil dari ratusan tahun yang lalu di mana massa rakyat berjuang dengan mengorbankan waktu, tenaga, biaya bahkan nyawa. Sebelumnya buruh bekerja setiap harinya 14 jam, 19 jam bahkan 20 jam dengan imbalan yang bersifat subsisten (hanya untuk bertahan hidup supaya besok bisa berproduksi kembali) singkatnya hari dan jam kerja pada masa lalu ditentukan berdasarkan keinginan penuh para pemilik alat-alat produksi waktu itu. Masa ini liburan sesuai keinginan jauh dari harapan, karena banyak waktu yang ada digunakan terpaksa untuk mengabdi kepada tuan modal.
Berawal dari tahun 1806 buruh di amerika serikat berjuang menuntut pengurangan jam kerja, sejak saat itu perjuangan reduksi jam kerja dan berkembang menjadi tuntutan bersama diberbagai belahan dunia yaitu 8 jam kerja sehari, 8 untuk bersosial dan 8 jam untuk istrahat. Akhirnya pada tahun 1889 menetapkan 1 mei sebagai hari buruh sedunia dengan 8 jam kerja sehari harus diberlakukan di semua Negara (baca; sejarah hari buruh sedunia).
Jam kerja merupkan bagian inti dalam proses produksi karenanya waku adalah uang, jika saja buruh tidak bekerja satu jam saja dalam satu pabrik maka berarti satu jam akan kehilangan uang, bayangkan jika itu terjadi dalam sehari secara nasional tanpa terkecuali setiap buruh/pekerja penerima upah menghentikan akivitassnya maka sudah dipastikan proses produksi dan distribusi akan mati yang berarti juga modal akan terhenti dan tidak bisa ekspansi (sirkulasi dalam berbagai bentuk) dan akumulasi. Arti penting tersebut menjadi dasar bagi setiap pengusaha untuk terus berupaya tanpa henti memperpanjang jam kerja (termasuk adanya istilah lembur), bila perlu tidak ada hari libur, sebaliknya atas jam kerja itu pula perjuangan buruh dimulai melakukan reduksi jam kerja (aksi reaksi, reaksi aksi) sehingga mendapatkan 8 jam kerja untuk istrahat (keluarga dan social).
Saat ini, dari sebagian kemenangan kaum buruh masa lalu menjadi milik setiap orang yang menerima upah, lalu sampai disini kah proses perjuangan itu?
Mari kita perhatikan sejenak sekilas situasi kaum buruh saat ini. Dalam berbagai regulasi yang mengatur khusus tentang ketenagkerjaan menunjukkan kelemahan yang mempengaruhi tingkat kelayakan kehidupan kaum buruh (fisik dan fsikis), apakah regulasi tersebut berpihak atau tidak dalam uraian ini tidak perlu diuraikan satu persatu karena buruh sendiri lebih tahu dan langsung merasakannya. Bahwa yang pasti persoalan buruh saat ini semakin kompleks mulai dari pencurian jam kerja, pencurian upah, PHK, ketidakpastian dalam bekerja dan lain sebagainya, meluas sampai pada hubungan politik, social kemasyarakatan. Hal ini semakin jelas kita lihat dari kasus-kasus pencurian uang rakyat oleh para pejabat, dampak kenaikan tariff dasar listrik, kenaikan harga bahan bakar energy (pencabutan subsidi disektor public), persaingan antar buruh (tidak menguntungkan) akibat paar tenagakerja yang luwes, beban keuangan untuk kredit perumahan dan barang kebutuhan lainnya, beban biaya pendidikan dan kesehatan dan kebijakan-kebiijakan politik lainnya.
Atas situasi itu, kaum buruh dihadapkan pada pilihan-pilihan;
- Terus berjuang menuntut kehidupan yang lebih layak dan bermartabat secara kemanusiaan.
- Memilih kerja-kerja tambahan diluar pabrik/kantor alias kerja sampingan.
- Memilih untuk bekerja melebihi 8 jam kerja yang ada dengan memanfaatkan kerja lembur dan kerja pada hari libur nasional.
Bahwa tiga pilihan di atas memberikan penjelasan;
- Mengambil tambahan jam kerja dalam berbagai bentuk dan bekerja pada hari libur menjadi pilihan akibat dari politik upah murah (baca; permenaker 13 tahun 2012 tentang KHL dan PP 78 tahun 2015) dalam bentuk UMP/UMK yang tidak mampu menjawab kebutuhan hidup layak kaum buruh.
- Selain itu, upah murah terjadi karena pencurian upah dari nilai lebih yang dihasilkan buruh. Sekedar simulasi;
Ada pabrik sepatu dengan jumlah buruh 90.000 orang. Dalam sehari pabrik tersebut bisa memproduksi 180.000 sepatu. Seorang buruh dalam seharinya kira-kira menghasilkan dua pasang sepatu. Harga sepasang sepatu merk terkenal di pasaran Eropa rata-rata Rp. 2.000.000,- (www.dream.co.id). Kita anggap Hari kerja buruh adalah 25 hari kerja.
Sedangkan perhitungan produksi menurut pengusaha adalah:
- 63 % adalah biaya produksi (bahan baku, mesin, listrik, air dll)
- 30 % untuk biaya siluman (pungli, bayar preman, sogokan buat Disnaker dll)
- 7 % untuk biaya buruh (ingat, hanya 7%)
MARI KITA HITUNG BERAPA JAM KEWAJIBAN BURUH BEKERJA :
- Kalau harga dua pasang sepatu bisa sampai Rp. 4.000.000,- berarti buruh seharusnya mendapat upah Rp. 280. 000,-/hari (7% x Rp. 4.000.000,-)
- Pada kenyataannya, dengan UMK Tangerang sebesar 3.295. 075,- buruh cuma dapat Rp. 131. 803,- per hari dengan 8 jam kerja
- Coba kita bandingkan : 15.700/70.000 x 8 jam = 3, 77 jam
Jadi, kalau hanya untuk mendapatkan UMK sekarang, sebenarnya buruh hanya perlu bekerja 3,77 jam perhari. Bukan 8 jam/hari. Lalu kemanakah 8 3, 77 jam = 4, 23 jam itu ?
APAKAH 4, 23 JAM SUDAH DIHITUNG PENGGANTIAN UPAHNYA? APA ARTINYA INI? BURUH BEKERJA TANPA DIBAYAR SELAMA 6,21 JAM/HARI. INILAH YANG DISEBUT DENGAN PENCURIAN NILAI LEBIH. PENINDASAN UTAMA TERHADAP BURUH. TAMBAHANNYA DI PABRIK ELEKTRONIK ATAU OTOMOTIF, JUMLAH JAM KERJA YANG DICURI PASTI BESAR SEBAB HARGA BARANG ELEKTONIK / MOTOR / MOBIL JAUH LEBIH MAHAL; (Dikutip dari catatan Khamid Istakhori).
Gambaran di atas seungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa 8 jam kerja dengan lembur sebagai tambahannya masih mejadi persoalan karena jam kerja tersebut belum maampu menjawab kebutuhan layak kaum buruh, begitu pula dengan tambahan kerja dalam bentuk lembur dan kerja pada hari libur sebatas menjadi obat penenang untuk menghibur diri sementara waktu.
Modal akan beranak pinak dan mendirikan berbagai industry di berbagai tempat merupaan bukti dari adanya pencurian nilai lebih yang dihasilkan buruh, tanpa itu dari mana modal awal menjadi modal lebih (M-M). Bukan kan kah kita sudah pernah melihat pabrik kosong di kawasan-kawasan industry ataupun non kawasan yang tidak terhuni buruh menghasilkan barang/jasa yang memiliki nilai tambah. Keberadaan buruh begitu penting dan menentukan dalam proses produksi (menghasilkan nilai) walaupun dalam fakta yang terbalik dalam system produksi sebuah perusahaan buruh hanya berposisi seperti robot bernyawa.
Kaum buruh dihadapkan pada dua (2) segi yang sama-sama merugikan-segi politik di mana segala bentuk regulasi atau aturan yang dilahirkan pemerintah menguntungkan investasi di berbagai sector, kedua penumpukan hasil kerja (akumulasi modal) dari seiap nilai lebih yang diambill dari kerja-kerja produktif kaum buruh.
Sedangkan para pemilik barang/jasa mendapatkan keuntungan dari dua segi dalam waktu bersamaan yaitu mendapatkan hasil lebih dari kelebihan jam dari yang seharusnya buruh bekerja (lihat simulasi di atas). Kedua kelebihan harga dari barang/jasa dari kerja buruh seharusnya dan kelebihan harga dari hasil kerja tambahan yang tidak seharusnya dihasilkan buruh.
Sementara pilihan berjuang menuntut perbaikan hidup masih menjadi kekuatan minoritas dan masih menjadi teriakan lantang di depan ketulian para penguasa negeri. Meskipun demikian, mau tidak mau suka tidak suka tuntutan-tuntutan perbaikan tidak bisa dihentikan walau dalam situasi yang paling sulit sekalipun, karenanya sangat jelas liburan (bekerja atau pulang kampung) pada hari buruh internasional menjadi tindakan tidak tepat karena Keinginan untuk memiliki waktu banyak prakteknya terbukti tidak berlaku sama antara klas berpunya dengan klas tidak berpunya.
Demikian lah segi-segi yang bertentangan sampai saat ini-tidak ada perubahan substansi kecuali pembaharuan metode yang mampu semakin menyembuyikan tindakan pencurian tersebut. Sudah jelaskah siapa pemilik waktu luang dan penikmat liburan sesungguhnya itu? Belum jelaskah untuk apa kita berjuang selama ini? Belum jelaskah kenapa mayday harus kita peringati setiap tahunnya? Belum terima kah bahwa hari libur tanggal 1 mei merupakan buah dari perjuangan bersama?.
Pilihan itu di anda karena anda yang menentukan, anda yang merasakan dan anda yang menikmmati hasilnya sekarang, esok selamanya. (**ks**)