Pada awalnya buruh bekerja di pabrik memasukkan lamaran kerjanya mayoritas tidak mengetahui hak-hak normatif ketenagakerjaan sehingga situasi ini termanfaatkan untuk memberikan hak-hak buruh di bawah ketentuan. Celakanya buruh yang mengetahui hak-haknya dan memintanya di awal ketika proses penerimaan tanagakerja baru perusahaan langsung menilai bahwa buruh tersebut adalah berbahaya sehingga diputuskan tidak diterima bekerja kecuali perusahaan menginginkan lain.
Buruh yang diterima bekerja tanpa mengetahui haknya terus menghasilkan barang/jasa dengan nilai yang pasti memberikan keuntungan bagi sang pemilik perusahaan sekaligus sebagai pemilik tenaga tersebut. Proses tersebut terus berlangsung sampai buruhnya bertanya dan menuntut haknya sebagaimana yang sudah diatur undang-undang tenegakerja dan peraturan lainnya. Ironisnya tuntutan dalam berbagai bentuknya seringkali mendapatkan tindakan balasan dari pihak managemen perusahaan dalam berbagai bentuk mulai dari intimidasi, mutasi, rotasi, pemotongan hak sampai tindakan PHK sepihak.
Sekilas gambaran di atas sedang dihadapi oleh buruh yang tergabung Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) PT.Tirta Sukses Perkasa (TSP), sebuah perusahaan penghasil air minum kemasan merk Club. Pada awalnya semua buruh perusahaan tersebut berstatus sebagai buruh outsourcing dan kontrak, ada juga yang status Pekerja Harian Lepas (PHL). Lalu pada tahun 2015 berserikat sebagai alat belajar sekaligus alat menuntut hak.
Alat tersebut selanjutnya digunakan untuk berjuang menuntut perbaikan kondisi kerja dan walhasil pada tahun 2015 serikat bersama managemen menghasilkan perjanjian bersama sebagai hukum bersama untuk sama-sama dipatuhi oleh kedua belah pihak. Berikut isi perjanjian bersama tersebut (Sumber; data base Advokasi PP FPBI 2015).;
1. Pihak pertama dan kedua melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang tenagakerja 13 tahun 2003.
2. Pihak pertama (perusahaan) akan mengubah status PKWT (Perjanjian kerja waktu tertentu) menjadi PKWTT (perjanjian waktu tidak tertentu) sebanyak 89 orang dengan masa kerja terhitung sejak masuk bekerja.
3.Surat Keputusan (SK) PKWTT akan diberikan tanggal 18 september 2015.
4. Pekerja Harian Lepas (PHL) berubah menjadi PKWT dan akan diangkat menjadi PKWTT 2×6 bulan PKWT dengan masa kerja terhitung sejak masuk bekerja.
5. Membangun hubungan yang harmonis antara serikat pekerja dengan perusahaan.
6. Apabila dikemudian hari terjadi perselisihan dikemudian hari mengenai status kerja, maka pihak pertama tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak dan tetap akan membayarkan upah selama proses perselisihan sesuai dengan pasal 151 UUK 13 tahun 2003.
7. Perjanjian bersama ini akan didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial.
Perjanjian di atas menjelaskan pertama; bahwa segala hak-hak buruh yang sudah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan harus diberikan tanpa harus diminta begitu juga sebaliknya semua kewajiban buruh yang tertuang dalam peraturan harus ditunaikan tanpa harus diminta. Kedua; Perjanjian bersama di atas memberikan kepastian bagi buruh (mengenai status kerja) dan kepastiaan bagi perusahaan mengenai kewajiban buruh yang harus ditunaikan. Meskipun sangat disadari bahwa kepastian dan perlindungan kerja itu belum optimal tapi sedikit tidaknya perjanjian bersama tersebut memberikan harapan bagi buruh dan pelan-pelan menghilangkan ketakutan buruh ketika bekerja seperti PHK, status tidak jelas dll. Sehingga dengan demikian buruh memiliki semangat kerja yang tinggi untuk meningkatkan produktivitasnya.
Ketiga; Perjanjian bersama tersebut pada dasarnya tidak ada yang bertentangan secara hukum yang berlaku bahkan buruh masih fleksibel dalam beberapa point sebagai bagian mencari win-win solution antar kedua belah pihak.
Pada dasarnya perjanjian bersama yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah tindakan itikad baik bersama dalam membangun hubungan yang harmonis antara buruh yang tergabung dalam serikat buruh (PTP FPBI PT TSP) dengan perusahaan yang diwakili oleh manajemen perusahaan (PT.TSP) Bahwa harmonisasi industri menjadi penting dalam meningkatkan produktifitas kerja suatu perusahaan dengan prinsip harmonisasi industri memberikan jaminan perlindungan hak dan kepastian kerja dalam jangka panjang. Harmonisasi tidak bisa diberlakukan sepihak dalam kondisi yang timpang seperti menuntut pekerja atau buruh menunaikan segala kewajiban yang melekat untuk terus meningkatkan produktivitas kerja sementara hak-hak buruhnya tidak diberikan.
Upanya membangun hubungan industri yang harmonis kenyataannya masih menjadi tulisan indah di atas kertas, masih menjadi mimpi yang tidak diketahui berapa kali mimpi lagi baru direalisasikan. Praktiknya PT Tirta Sukses Perkasa mulai menghapus tulisan indah itu, perjanjian bersama yang telah disepakati ditandatangani pada tahun 2015 sebagai itikad baik bersama dalam membangun hubungan industri yang harmonis dilanggar sendiri oleh managemen PT Tirta Sukses Perkasa.
Pelanggaran perjanjian Bersama ini dilakuan secara terencana dan tersistematis, hal ini sangat terlihat dari rencana managemen jauh-jauh hari akan menggantikan pekerja kontrak (PKWT) yang seharusnya diangkat akan digantikan oleh tenagakerja outsourcing. Buruh yang sudah ditawarkan sebelumnya untuk dikembalikan ke outsourcing dengan kompensasi sebesar pesangon selama bekerja yang terpenting buruh mau kembali sebagai buruh status outsourcing. Tawaran tersebut tentu saja ditolak keras oleh buruh PT TSP yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia. Karena menerima tawaran dengan kompensasi sama dengan melanggengkan sistem jual-beli buruh dalam bentuk yang modern.
Penolakan tersebut sudah dilakukan sejak rencana itu mau dilaksanakan managemen termasuk penolakan dengan melakukan perundingan-perundingan antar kedua belah pihak. Segala rangkaian penolakan justru berujung pada pelanggaran perjanjian bersama. Dan buah nyata dari pelanggaran tersebut adalah melakukan pemutusan hubungan kerja buruh PT Tirta Sukses Perkasa sebanyak 48 orang. Maka atas tindakan sepihak managemen melakukan PHK semua buruh PT Tirta Sukses Perkasa melakukan mogok kerja dan menuntut pihak perusahaan menjalankan perjanjian bersama yang sudah disepakati dan membatalkan PHK 48 orang.
Mogok kerja yang dilakukan merupakan bentuk penolakan dan sekaligus tindakan balasan buruh atas tindakan sepihak perusahaan yang melanggar aturan bersama serta secara sepihak melakukan pemutusan hubungan kerja. Mogok sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan lainnya adalah bagian hak setiap buruh yang menginginkan perbaikan kondisi kerja atau menolak sistem kerja yang tidak manusiawi dan memberikan rasa keadilan bagi seluruh buruh/pekerja/karyawan.
Mogok kerja yang dilakukan oleh semua buruh perusahaan air minum kemasaan merk Club menjadi perwujudan hak buruh yang sedang menuntut ditegakkannya hukum beserta aturan bersama yang telah disepakati. Sangat terang dan jelas bahwa pelanggaran aturan tidak dilakukan oleh buruh tapi dilakukan oleh managemen perusahaan itu sendiri, sangat terang dan jelas juga yang tidak menginginkan perbaikan hubungan industri adalah pihak managemen perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan sesungguhnya yang menghambat, mengganggu sekaligus menggagalkan harmonisasi industri adalah managemen PT. Tirta Sukses Perkasa bukan Buruh, sekali lagi bukan Buruh.
Selanjutnya penolakan PHK dengan segala metode salah satunya dengan mogok kerja adalah bagian tindakan yang benar. Kenapa benar?
Berangkat dari Hukum dasarnya seorang buruh membutuhkan makan, minum dan kebutuhan lainnya, untuk menjawab itu maka diharuskan bekerja karena dengan bekerja dia mendapatkan penghasilan (terlepas dari hasil kerja tersebut menjadi miliki si pengusaha) dalam bentuk uang. Dari kompensasi dalam bentuk uang tersebut lah maka buruh akan mampu menjawab kebutuhannya sendiri maupun keluarganya termasuk kebutuhan sosial lainnya. Jika buruh tidak bekerja maka sudah dapat dipastikan dia tidak akan mampu menjawab kebutuhan dirinya, keluarganya dan sosialnya.
Arti penting kerja (kerja untuk mendapatkan upah) bagi buruh sehingga dalam hubungan industri PHK sebagai hal pertama yang paling menakutkan bagi seorang buruh. Karena pemutusan hubungan kerja akan menghilangkan penghasilannya sebagai buruh yang tiap hari mengabdikan diri bekerja di suatu perusahaan. Tentu sudah bisa kita bayangkan dikepala kita masing-masing bagaimana jika seorang buruh terPHK, lalu menganggur, selanjutnya mencari pekerjaan tapi hasil kerjanya jauh di bawah batas kebutuhan minimumnya.
Memperjelas akibat terburuk dari PHK mari kita coba simulasikan. Misalnya seorang buruh cianjur, kebutuhan dalam sebulan kita ambil saja batasan minimum upah terendah Rp 1.837.520 (UMK Kab. Cianjur 2016). Dan tidak ada tambahan penghasilan lain artinya penghasilan hanya dari upah sebulan yaitu Bekerja = penghasilan Rp 1.837.520. Jika buruh tersebut ter-PHK otomatis tidak mendapatkan penghasilan dari upah berarti Tidak bekerja = Penghasilan Rp 0.
Sehingga jelas bahwa tidak bekerja sama dengan 1 orang buruh tidak akan mampu menjawab kebutuhan selama sebulan dan begitu seterusnya, belum lagi jika buruh tersebut juga punya tanggungjawab di keluarga. Hal ini akan berlaku sama dengan buruh berkeluarga dengan asumsi punya 2 orang anak (penghasilan sebulan sama dengan besaran UMK kab.cianjur). Maka penghasilan = Rp 0 berarti 1+3 orang anggota keluarga tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan. Jika kita kembali ke kasus PHK 48 orang buruh PT TSP dengan asumsi sebagian sudah bekeluarga dan sebagaiannya lagi belum berkeluarga maka akibat PHK tidak lagi berjumlah 48 orang tapi juga ditambah dengan anggota keluarga sebagai korban. Belum lagi dampak PHK terhadap pertumbuhan ekonomi kab. Cianjur.
Dari simulasi sederhana tersebut menggambarkan bahwa PHK melahirkan dampak negatif (korelasi negatif) terhadap kepastian keberlangsungan hidup seorang buruh beserta keluarganya. Sehingga atas dasar itu Federasi Perjuangan Buruh Indonesia menyimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja termasuk yang terjadi di buruh PT Tirta Sukses Perkasa sama dengan kejahatan kemanusiaan. Karenanya PHK tidak bisa dilihat sebagai kejadian hubungan industrial yang biasa-biasa saja apalagi diwajarkan untuk dibenarkan.
Sebagai penutup, dengan demikian tidak ada pilihan lain di bawah rezim yang dzolim adalah melakukan perlawanan bersama dengan sehebat-hebatnya dan sehormat-hormatnya, karena Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri mau merubahanya.
Cikarang 15 September 2016